Well Come

Selasa, 27 Desember 2011

Senat Mahasiswa STT BNKP Sundermann Julita Septanius Telaumbanua Ketua
Selamat Hari Natal 25-26 Desember 2011
&
Selamat Tahun Baru 01 Januari 2012
Mohon Maaf lahir dan Batin 

Pidato Ketu Senat Mahasiswa STT BNKP Sundermann

Yang Terhormat:
  1. Bapak Ketua STT BNKP Sundermann
  2. Bapak Puket I, II, dan III STT BNKP Sundermann
  3. Bapak/Ibu Ka. Prodi PAK dan Teologi STT BNKP Sundermann
  4. Bapak/Ibu dosen, Staff dan Pegawai STT BNKP Sundermann
  5. Saudara Ketua Senat Demisioner beserta saudara/i Pengurs SMPT STT BNKP Sundermann Demisioner
  6. Rekan-rekan anggota GMKI di wilayah Komisariat STT BNKP Sundermann
  7. Seluruh teman-teman mahasiswa STT BNKP Sundermann yang saya banggakan dan yang saya kasihi.
Puji Syukur Kita Panjatkan kehadirat Tuhan kita Yesus Kristus Sang Kepala Gereja yang telah bersama-sama dengan kita hingga pada saat ini, sehingga proses pelantikan pengurus SMPT STT BNKP Sundermann yang telah kita saksikan barusan saja dapat berjalan dengan baik.
Pada kesempatan ini, izinkanlah saya mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya atas seluruh partisipasi teman-teman mahasiswa STT BNKP Sundermann dalam mendukung kami serta memberikan kepercayaan yang setinggi-tingginya kepada kami untuk memimpin dan melayani dalam organisasi internal kampus kita ini.
Namun saudara/saudariku dukungan itu tidak hanya sekedar kami mempunyai jabatan atau kedudukan dalam struktural kepemimpinan senat di kampus kita ini. Namun, juga teman-teman turut serta dan ambil bagian dalam menyukseskan segala kegiatan kita ke depan. Karena dalam lingkungan kampus ada beberapa hal yang sangat penting untuk kita perhatikan guna menyukseskan segala program, secara khusus dalam ruang lingkup organisasi internal kita mahasiswa, antara lain:
  • Kesolidaritasan antara teman yang satu dengan teman yang lain, karena tanpa rasa solidaritaslah maka segala yang direncanakan tidak akan berhasil
  • Menciptakan kesejahteraan, rasa kekeluargaan serta kerjasama yang bersifat membangun antara yang satu dengan yang lainnya. Atau dengan istilah lainnya "Bergandengan Tangan dalam Satu Kasih".
  • Membangun hubungan emosional, relasional dengan labil, sehingga di antara kita ada ikatan emosional dan relasional yang baik tanpa menyudutkan satu dengan yang lain. Atau dengan istilah yang lain "berkompetisi yang Sehat".
dalam hal ini saudara/saudariku, saya juga mengharapkan kepada seluruh teman-teman/rekan-rekan civitas akademika STT BNKP Sundermann, agar segala keputusan dalam melaksanakan satu program/kegiatan  tidak hanya Ketua Senat dan Pendurus Senat yang senantiasa bertindak, tetapi juga rekan-rekanlah yang senantiasa memberikan motivasi, moril dan finansial demi keutuhan struktural SMPT STT BNKP Sundermann kita ini.
selain daripada itu, pada masa sekarang ini, sebagian besar yang namanya mahasiswa hanya memiliki sifat/sikap yang oportunitisme (artinya hanya mementingkan kepribadian sendiri). Nah, rekan-rekan perlu ketahui bahwa sikap/sifat yang demikian pasti akan memberikan dampak bagi kita. Di mana dampaknya ialah bahwa sikap tersebut akan menggerogoti akal pikiran sehat kita. Sekarang yang menjadi perenungan buat kita ialah:
  1. Apakah ada suatu permasalahan atau pergumulan yang dapat diselesaikan tanpa menghilangkan sikap/sifat yang oportunitis? Saudara/saudariku, kita peerlu belajar pada sebatang lidi. Di mana lidi yang hanya terdiri dari satu batang ia tidak bakalan pernah disebut sebagai alat pembersih atau dengan kata kasarnya sebagai alat penyapu lantai atau halaman rumah yang kotor. Dan malahan lidi yang hanya terdiri dari satu batang itu mudah rapuh dan patah akibat sampah yang tak begitu besar. Tetapi coba rekan-rekan bayangkan andaikata lidi itu terdiri dari beberapa batang dan menyatu dalam satu ikatan yang kuat, maka yakinlah sebesar apapun sampah yang ia hadapi ia tidak mudah rapuh dan patah, melahan lidi yang demikian sering digunakan sebagai lambangnya "sikompak"
  2. Sebagai Mahasiswa, apakah kita mampu menjujung tinggi nilai-nilai patriotisme dan idealisme yang manfaatnya dirasakan secara individualita.
Rekan/rekan yang yang budiman, selain daripada itu maka hal lain yang hendak saya bentangkan dipemikiran teman-teman ialah bahwa salah satu yang penting dari organisasi internal kita ini ialah pola dasar berorganisasi. rekan-rekan, pola dasar berorganisasi adalah sesuatu hal yang didasari pada kepentingan bersama. Dalam hal ini organisasi harus memiliki status yang jelas. Oleh karena itu, saya mengaharapkan dukungan dari teman-teman mahasiswa-tanpa kita harus mengingat realitas dari perjalanan tongkat kepemimpinan SMPT kita selama ini-bahwa dasar melakukan dan bertindak sebagai organisatoris yang utamanya harus memiliki AD/ART. Oleh sebab itu, pada kesempatan yang berbahagia inisaya mengajak teman-teman, rekan-rekan mahasiswa untuk meyakini bahwa ke depan organisasi kita ini tidak terpuruk lagi, artinya teruji sudah bahwa perjuangan sebagai mahasiswan baik di dalam maupun di luar kampus ini, tidak hanya teropsesi dengan pengaruh-pengaruh yang hanya membual dan menghujat rumahnya sendiri. Oleh sebab itu, melalui ini saya sampaikan agar kita sesegera mungkin mempertimbangkan soal perumusan dan pembuatan AD/ART SMPT STT BNKP Sundermann yang tidak terlepas dari asuhan Statuta STT BNKP Sundermann, karena di sisi lain kita juga tidak perlu bergantung terus-menerus pada kinerja-kinerja yang hanya mengandalkan kebijakan di atas keputusan. Oleh sebab itu, sekali lagi saya sampaikan kepada teman-teman keputusan tidak hanya berada di tangan kami sebagai penanggung jawab dan pengurus Senat Mahasiswa, tetapi teman-temanlah yang berhak untuk menyuarakan dan memutuskannya.
Rekan-rekan mahasiswa yang berbahagia, pada saat ini kampus kita sedang dalam tahap perjuangan menuju pada tingkat akreditasi BAN PT, lalu pertanyaan buat kita yang hadir pada saat ini sebagai civitas akademika STT BNKP Sundermann, yaitu bagaiman tanggapan kita, tanggapan teman-teman seputar perjuangan akreditasi yang dimaksud? apakah saya dan rekan-rekan sekalian hanya berperan sebagai penonton saja yang mengharapkan hujan turun dari langit? Atau seandainya, bila perjuangan kampus kita ini tidak berhasil menyelamatkan kita dari bunyi gong kematian (maksudnya akreditasi BAN PT) maka hal apa yang akan kita lakukan? Apakah kita hanya menerima begitu saja lalu buru-buru untuk menggulung tikarnya dan pulang ke rumah/kampung halamannya masing-masing? Atau harus turun di jalan untuk demo seperti yang pernah kita lihat?
Rekan-rekan yang arif bijaksana, saya tidak mengharapkan jawaban dari rekan-rekan pada kesemptan ini, tetapi biarlah hal ini menjadi pergumulan kita di dalam doa kita tiap hari.
Akhir kata dari saya:
Tinggi Iman....
Tinggi Ilmu....dan
Tinggilah Pengabdian kita....baik di kota maupun di desa...

Selamat Melayani di Ladang-Nya Tuhan
HINNI SYELATENI

Jumat, 16 Desember 2011

Hubungan Gereja dan Negara Menurut Calvin


HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA MENURUT JOHANNES CALVIN
Bab I
Pendahuluan
Menurut M.Solly Lubis, S.H. bahwa Negara adalah suatu bentuk pergaulan manusia atau suatu komunitas. Negara itu mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu mempunyai daerah tertentu, rakyat tertentu, dan mempunyai pemerintahan.[1]
Gereja Kristen adalah asosiasi pengikut Yesus Kristus. Istilah Yunani κκλησία, yang dalam penampilan dalam Perjanjian Baru biasanya diterjemahkan sebagai "gereja", pada dasarnya berarti "perakitan".[2] Dalam Kata bahasa Inggris "gereja" adalah dari kata Cirice Inggris Kuno, berasal dari Barat Jermanik kirika, yang pada gilirannya berasal dari bahasa Yunani κυριακή kuriakē, yang berarti "Tuhan" (bentuk posesif κύριος kurios "penguasa, tuan") . Kuriakē dalam arti "gereja" adalah kemungkinan besar pemendekan κυριακ οκία kuriakē oikia ("rumah Tuhan") atau κκλησία κυριακή kuriakē ekklesia ("jemaat Tuhan")[3] gereja Kristen kadang-kadang disebut κυριακόν kuriakon. (kata sifat yang berarti "Tuhan") dalam bahasa Yunani dimulai pada abad ke-4, namun ekklesia dan βασιλική basilikē lebih umum.[4]
Gereja dan Negara adalah dua lembaga pemerintahan yang ada di tengah-tengah kehidupan umat manusia di bumi ini. Dan juga sama-sama memiliki peranan di dalam kehidupan umat manusia. Namun meskipun demikian, kedua lembaga ini memiliki fungsi dan tanggung jawab yang berbeda.
Gereja lahir di tengah-tengah percaturan dunia. Keberadaan gereja tidak dapat dilepaskan dari tatanan-tatanan yang berlaku dalam dunia sekitarnya. Apa yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan gereja, demikian pula sebaliknya. Gereja juga punya andil besar untuk mempengaruhi masyarakat.
Sejarah hubungan Gereja dan Negara telah terjalin seiring dengan perkembangan Gereja dari abad-ke abad. Sejak abad pertama hingga abad pertengahan kualitas hubungan Gereja dan Negara sangat dipengaruhi oleh situasi politik.
Dan untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang hubungan Gereja dan Negara, maka pada kesempatan ini penulis akan menyajikan bagaimana hubungan antara gereja dan negara berdasarkan pada pandangan Johannes Calvin?

Bab II
Pembahasan
1.    Sejarah Hidup Johannes Calvin
Sebelum penulis menguraikan lebih jauh bagaimana pandangan Calvin tentang hubungan Gereja dan Negara maka terlebih dahulu penulis uraikan sejarah hidup dari tokoh reformatoris ini.
Johanes Calvin adalah seorang pemimpin gerakan reformasi Gereja di Swiss. Ia merupakan generasi yang kedua dalam jajaran pelopor dan pemimpin gerakan reformasi gereja pada abad ke-16, namun peranannya sangat besar dalam gereja-gereja reformatoris.
Johanes Calvin dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1509 dengan Nama Jean Cauvin di Noyon, sebuah desa di sebelah Utara kota Paris, Perancis. Kemudian hari Nama Cauvin, sesuai dengan kebiasaan di kalangan kaum berpendidikan waktu itu, dilatinisasikan menjadi Calvinus.[5] Ayahnya bernama Gerard Cauvin yang berasal dari keluarga yang biasa saja: dari keluarga penambang perahu. Ayah Calvin berhasil menduduki beberapa jabatan penting dalam gereja dan masyarakat: ia pegawai keuangan kota dan Sekretaris dari uskup Charles de Hangest.[6] Ibunya bernama Jeanne Lefranc. Ibu Johannes Calvin meninggal dunia tatkala Johanes Calvin masih muda. Calvin memiliki empat saudara lelaki dan dua orang saudara perempuan. Keluarga Calvin mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga bangsawan Noyon. Oleh karena itu, pendidikan elementernya ditempuh dalam istana bangsawan Noyon, Mommor, bersama-sama dengan anak-anak bangsawan itu. Itulah sebabnya maka Calvin memperlihatkan sifat-sifat kebangsawanan.[7]
Pada mulanya ayah Calvin menginginkan anaknya untuk menjadi imam. Pada umur 12 tahun Calvin sudah menerima "tonsur" (pencukuran rambut dalam upacara inisiasi biarawan) dan ia sudah menerima upah dari paroki St. Martin de Marteville. Dengan penghasilan tersebut Calvin dapat meneruskan pendidikannya pada jenjang yang tinggi. Pada tahun 1523 Calvin memasuki College de la Marche di Park. Di sini IA belajar retorika dan Bahasa Latin. Bahasa Latin dipelajarinya pada seorang ahli bahasa Latin yang terkenal, yaitu Marthurin Cordier. Kemudian ia pindah ke College de Montague. Di sini Calvin belajar filsafat dan teologia. Di sekolah inilah Calvin belajar bersama dengan Ignatius dari Loyola, yang dikemudian hari menjadi musuh besar gerakan reformasi.[8]
Setelah Calvin menyelesaikan pendidikannya itu tiba-tiba ayahnya tidak menginginkan anaknya lagi untuk menjadi imam. Ayahnya menginginkan Calvin menjadi seorang ahli hukum. Hal ini disebabkan oleh perselisihan antara ayah Calvin dengan keuskupan Noyon.[9] Oleh karena itu Calvin memasuki Universitas Orleans (tahun 1528-1529) untuk belajar ilmu hukum. Kemudian ia belajar juga di Universitas Bourges dan Paris. Bahasa Yunani dan Ibrani dipelajarinya dari Melchior Wolmar, seorang ahli bahasa terkenal pada abad itu. Dengan demikian Calvin menjadi seorang ahli hukum. Studi hukumnya sangat mempengaruhinya dalam usaha pembaharuan dan penataan gereja reformasi yang dipimpinnya. Calvin sangat menekankan ketertiban dan keteraturan dalam gereja.
April 1532, Calvin menerbitkan bukunya yang pertama, yaitu: Komentar Kitab De Clementia. Dalam buku ini dipersembahkan kepada Claude de Hangest, sahabat sekolahnya di keluarga bangsawan Mommer, di Noyon dahulu. Buku itu memperlihatkan Calvin sebagai seorang humanisme sejati. Dalam buku ini tidak terdapat tanda-tanda bahwa Calvin telah beralih ke pihak reformasi di Perancis. Dapat diduga bahwa Calvin telah membaca tulisan-tulisan Luther dan para reformator Swiss lainnya. Bilamana Calvin menjadi pengikut gerakan reformasi tidak dapat ditentukan dengan tepat. Pertobatannya kemungkinan terjadi pada akhir 1532 dan awal 1533. Hal ini didasarkan kepada suratnya kepada Bucer, yang meminta kepada Bucer di Strausburg untuk memberi perlindungan kepada orang-orang reformatoris yang melarikan diri karena dihambat di Perancis. Surat tersebut ditulis Oktober 1533. Mengenai pertobatannya, Calvin menulis sebagai berikut: " . . . muncullah suatu ajaran yang baru, yang tidak membelokkan kami dari pengakuan Kristen, malah justru membawa kami kembali kepada sumbernya yang asli, menyucikannya dari segala noda, mengembalikan kepadanya kemurniannya yang semula. Tetapi aku benci kepada hal hal yang baru itu, dan sukar mendengarnya sekalipun. Dan pada mulanya aku menentangnya sekeras-kerasnya, karena aku telah menempuh jalan yang sesat dan penuh kebodohan. Tetapi berkat pertobatan yang tiba- tiba, Allah menujukan hatiku kepada kepatuhan".[10]
Pada tahun 1534 golongan reformatoris di Perancis dihambat dengan keras. Sehingga mereka terpaksa menyelamatka diri mereka dengan pergi ke Swiss. Calvinpun ikut melarikan diri ke Strausburg di mana ia diterima oleh Bucer. Kemudia Calvin meneruskan perjalananannya ke Basel.[11] Calvin tinggal di Basel setahun lebih lamanya. Selama itu Calvin masih pergi ke Perancis mengunjungi sahabat-sahabatnya dengan memakai nama-nama samaran seperti: Martianus Lucanius, Carolus Passelius, Calpunius, dan sebagainya. Di Basel inilah Calvin menerbitkan bukunya yang terkenal itu, yaitu: Religionis Christianae Institutio (Pengajaran tentang Agama Kristen), tahun 1536. Biasanya dikenal dengan sebutan Institutio.
Pada tahun 1536 Calvin pergi ke Italia. Dalam perjalanan pulang ke Basel ia terpaksa melalui Jenewa dan menginap di sana. Farel mendengar bahwa Calvin berada di Jenewa sehingga Farel mencari Calvin. Farel meminta kepada Calvin untuk tinggal di Jenewa dan bersama-sama dengan Farel menata kota Jenewa menjadi kota reformasi. Dua bulan sebelumnya Dewan Kota Jenewa telah memutuskan untuk menganut paham reformasi. Permintaan Farel ditolak oleh Calvin. Calvin mau hidup tenang dan terus menulis karya-karya teologia. Ia merasa tidak cocok dengan pekerjaan praktis dalam jemaat. Namun Farel mendesaknya dengan berkata: "Dengan Nama Allah yang mahakuasa aku katakan kepadamu: jikalau engkau tidak mau menyerahkan dirimu kepada pekerjaan Tuhan ini, Allah akan mengutuki engkau karena engkau lebih mencari kehormatan dirimu sendiri daripada kemuliaan Kristus". Calvin melihat panggilan Allah kepadanya lewat Farel sehingga ia tinggal di Jenewa.
Pada tahun 1538 Calvin bersama Farel dipecat oleh Dewan Kota Jenewa, karena tak tahan mengikuti peraturan-peraturan bergereja yang disusun oleh Calvin.[12] Kemudian pada tahun 1539 Calvin dipanggil oleh jemaat Strausburg agar IA menjadi pendeta di Sana. Dalam jemaat ini Calvin bersama-sama Butzer dapat menerapkan cita-cita yang gagal di Jenewa dahulu. Di sini Calvin mengusahakan nyanyian Mazmur dengan bantuan ahli musik terkenal; yaitu Clement Marot, Louis Bourgois dan Maitre Piere. Di sini pula Calvin mulai menulis tafsiran-tafsiran Alkitab serta merevisi Institutio. Di sinilah pula Calvin menikah dengan Idelette de Bure, seorang janda bangsawan.[13] Pernikahannya hanya berlangsung sembilan tahun lamanya, karena kemudian istrinya meninggal tanpa memberi keturunan kepada Calvin. 
Dan pada tahun 1541 Calvin kembali ke Jenewa atas permintaan dewan kota setempat. Hal ini dewan Kota lakukan untuk mengatasi upaya seorang Kardinal GKR untuk menggiring warga Kota itu untuk kembali ke GKR. Calvin tinggal dan bekerja di sini hingga meninggalnya, 27 Mei 1564, karena mengidap penyakit TBC.[14]

2.   Latar-belakang Pemikiran Johannes Calvin Terhadap Hubungan Gereja dan Negara
Sebelum dibahas latar-belakang pemikiran Calvin mengenai hubungan gereja dan negara, maka perlu ditegaskan bahwa para reformator adalah anak zaman mereka. Akibatnya pemahaman mereka tentang hubungan gereja dan negara tidak terlepas dari realitas awal abad ke-16.
Menurut Christian de Jonge, bahwa pada awalnya gereja dan negara saat itu, biarpun merupakan organisasi yang berbeda, menyangkut orang-orang yang sama, yakni seluruh masyarakat. Untuk keadaan ini biasanya istilah corpus Christianum, artinya tubuh Kristen. Dengan istilah ini yang dimaksudkan adalah adanya anggapan bahwa masyarakat merupakan suatu kesatuan, dan gereja sebagai jiwa dan negara sebagai tubuh. Gereja mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan keselamatan abadi, sedangkan pemerintah memajukan kesejahteraan manusia di dunia ini dan dua-duanya bekerja sama demi kemulian nama Kristus dan Allah.[15] Pokok pikiran corpus Christianum ini sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Augustinus[16] dalam bukunya De civitate Dei (tentang Negra Allah). Menurut Agustinus gereja di dunia ini adalah persekutuan semua warga negara Allah yang sedang menuju ke keselamatan surgawi dan gerejalah yang melayankan kepada anggotanya semua yang perlu untuk keselamatan itu, yaitu Firman dan Sakramen-sakramen. Sementara itu, negara juga menggunakan kuasannya untuk melindungi orang yang baik terhadap orang yang jahat. Sehingga pemerintah Kristen dapat ikut menyumbangkan pada kemajuan negara Allah.
Namun, pada abad pertengahan, kerjasama antara gereja dan pemerintah tidak selalu memperlihatkan keselarasan yang dinyatakan dalam gagasan Corpus Christianum. Khususnya sejak sekitar tahun 1050, di mana pertikaian tentang pertanyaan siapa yang memegang kuasa tertinggi di masyarakat Kristen.[17] Gereja menuntut kuasa atas negara, alasannya ialah karena yang rohani lebih agung dari yang jasmani dan duniawi. Juga pemerintah berpendapat bahwa negara, karena tugasnya, boleh mencampuri urusan gereja kalau kesejahteraan masyarakat dibahayakan oleh gereja.[18] Dan pertikaian ini semakin tajam hingga pada akhir abad pertengahan, menjelang reformasi. Negara semakin kuat dan tidak mau lagi diatur oleh gereja.
Jadi yang menimbulkan permasalahan antara gereja dan Negara pada abad pertengahan yaitu bahwa gereja cenderung mendikte pemerintah tentang bagaimana harus mengasuh gereja, maupun bahwa Negara dalam upaya untuk menompang gereja campur tangan dalam urusan internal gereja. Dan hal inilah-salah satu bagian yang ditentang oleh Johannes Calvin.
Di Jenewalah Calvin menjadi seorang reformatoris, karena ia diundang untuk ikut mereformasikan gereja di Jenewa oleh Farel. Mengapa Farel mengundang Calvin? Menurut H. Berkhof dalam bukunya sejarah gereja bahwa Jenewa adalah sebuah kota yang diperintah oleh seorang uskup, tetapi sudah lama Hertog Savoya, yang berkuasa di daerah Selatan Jenewa, ingin memasukkan kota Jenewa tersebut ke dalam kerajaannya. Ketika bahaya itu meningkat, maka Jenewa mencari bantuan pada perserikatan kanton-kanton injili. Bantuan politik itu diberikan kepada Jenewa oleh kanton-kanton injili dan atas desakkan kanton Bern dan karena pertentangan politik antara Jenewa dengan Savoya yang beragama Katolik Roma, maka Jenewa menerima pembaharuan pada tahun 1535[19]. Sekarang Jenewa adalah, sama seperti Zurich suatu kota yang bebas. Mereka membuang dengan senang hati segala kewajiban, peraturan dan upacara GKR yang sudah lama dirasakana sebagai belenggu yang merintangi kebebasan hidupnya, supaya sekarang mereka itu boleh hidup menurut hawa nafsunya saja.[20] Dan untuk menangani hal inilah maka Farel meminta bantuan Calvin dalam membina kehidupan rohani warga Jenewa.
Setelah Jenewa membebaskan diri dari uskupnya, pemerintah kota mulai mereformasikan gereja dengan mengikuti gaya reformasi gereja di Swiss. Salah satu corak reformasi Swiss adalah bahwa pemerintah kota mencabut hak Gereja Katolik Roma untuk mengekskomunikasikan orang dan memberikannya kepada dirinya sendiri.[21] Dan tindakkan ini ditolak oleh Calvin, karena mengurangi kebebasan gereja. Sehingga pada akhir tahun 1536 Calvin menyusun tata gereja baru bersama dengan Farel sebagai langkah awalnya dalam memulaikan pekerjaaannya, dalam rangka menata kembali kehidupan warga kota Jenewa. Karena bagi Calvin, agar nyata bahwa Krituslah Tuhan jemaat, maka perlu ada disiplin. Namun, disiplin yang ada itu tidak boleh diserahkan di tangan pemerintah (dewan kota). Sebab Kristus sendirilah kepala Gereja; sehingga pemerintah dunia tidak berhak dalam urusan perkara-perkara yang semata-mata mengenai hidup Gereja sendiri.[22] Dalam hal ini, Bantuan pemerintah dalam reformasi bukannya tidak dihargai, tetapi hanya untuk menyatakan kalau Gereja adalah milik Kristus dan pendeta bukan pegawai pemerintah, melainkan pelayan Firman yang bertanggung jawab kepada Tuhan.[23] Dari gagasannya inilah, maka Calvin bersama Farel mendapatkan perlawanan dari Dewan kota Jenewa. Sehingga dewan kota melarang pendeta-pendeta naik mibar. Dan yang lebih anarkisnya lagi ialah pada bulan April 1538, Calvin bersama Farel dipecat dan dibuang.[24]
 Demikian juga halnya di kota-kota lain, di mana pemerintah menganggap gereja sebagai miliknya, maka Calvin tampil untuk menolak sikap seperti itu. Jadi, hal inilah yang melatar belakangi pemandangan Calvin tentang hubungan antara Gereja dan Negara.

3.   Pandangan Calvin Tentang Gereja
Dalam memahami gereja, maka Calvin mencoba mengulangi perkataan-perkataan Cyprianus, maka Calvin mengatakan bahwa gereja adalah ibu semua orang percaya. Yang tidak memiliki gereja sebagai ibu tidak dapat memiliki Allah sebagai Bapa dan di luar gereja tidak ada keselamatan.[25] Dan dalam hal inilah dapat dilihat bahwa gereja sebagai sarana keselamatan karena firman (jadi ajaran, bukan jabatan rasuli) dan sakramen-sakrasmen.
Menurut Calvin, Gereja adalah alat utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang percaya untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus.[26] Menurut Calvin, bahwa pemerintahan Gereja merupakan pemerintahan yang letaknya di dalam jiwa atau batin manusia yang menyangkut kehidupan kekal. Ia bersifat Rohani, dan mengajar hati nurani supaya saleh dan mengabdi kepada Allah.[27] Sehingga Calvin mengidentifikasikan gereja sebagai suatu lembaga atau badan yang dibangun secara ilahi yang di dalamnya Allah melakukan penyucian umatnya.[28] Namun, perlu juga diketahui bahwa bagi Calvin Gereja yang benar dapat ditemukan ketika Injil secara benar diberitakan dan sakramen-sakramen secara benar dilayankan – sama seperti pandangan Luther.[29]
Dan hal ini juga didukung olen pendapat J.L.Ch. Abineno yang menjelaskan bahwa Kehadiran Gereja di dunia ini menunjukkan dua bentuk permunculannya. Di mana di satu sisi sebagai perhimpunan manusia yang mempunyai kesamaan tertentu dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya (yaitu menciptakan keadilan, kebenaran, perdamaian dan keutuhan seluruh ciptaan). Dan di pihak lain, merupakan persekutuan rohani dengan Yesus Kristus sebagai kepala Gereja.[30]

4.   Pandangan Calvin Tentang Negara
Negara adalah sebuah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Atau dengan kata lain Negara juga diartikan sebagai kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah sebuah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik yang berdaulat, sehingga Negara berhak menentukan tujuan nasionalnya. Lalu bagaimana pandangan Calvin tentang negara?
Bagi Johannes Calvin – menurut uraiannya dalam bukunya yang berjudul Institutio – pemerintahan Negara ialah pemerintahan yang hanya bermaksud untuk mentapkan tata kehidupan yang benar dari segi sipil serta lahiriah.[31] Menurut  Calvin, tugas pemerintah sipil itu ialah mendukung dan melindungi penyembahan kepada Allah dari sudut lahiriah, mempertahankan ajaran yang sehat tentang agama dan membela kedudukan gereja, mengatur kehidupan dengan berpedoman pada pergaulan masyarakat, membina kesusilaan sesuai dengan keadilan seperti yang ditetapkan oleh undang-undang negara, menumbuhkan dan memupuk perdamaian serta ketentraman umum.[32] Selain daripada itu, Calvin juga membrikan penghargaan terhadap pemerintah negara[33] dengan menjelaskan bahwa kekuasaan politis itu suatu panggilan, yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana.[34] Hal ini disebabkan oleh karena peran negara sebagai pelindung bagi Gereja dan abdi Allah yang memperjuangkan keadilan.[35] Lebih lagi Calvin menambahkan bahwa bahwa bentuk pemerintahan negara yang lebih baik menurutnya ialah pemerintahan yang aristokrasi, ataupun bentuk pemerintahan yang terdiri dari campuran tepat pemerintah aristokrasi dengan pemerintah oleh para warga seluruhnya.[36]
Dan dalam hal ini Calvin memberikan alasan mengapa ia lebih memilih pemerintahan yang bersifat aristokrasi, yaitu bukan disebabkan oleh karena bentuknya, melainkan karena jarang sekali terjadi bahwa raja-raja menahan diri sedemikian rupa, hingga kemauan mereka tidak pernah menyimpang dari yang yang adil dan lurus, dan jarang sekali terjadi bahwa mereka diperlengkapi dengan kecerdasan serta kebijaksanaan yang begitu besar sehingga mereka sendiri sudah tahu batas-batas untuk bertindak. Jadi, mengingat kejahatan atau kekurangan orang, lebih aman keadaannya dan lebih ringan bebannya bila lebih dari satu orang yang memegang kemudi, supaya mereka dapat saling membantu, saling mengajar dan memberi peringatan, dan supaya bila ada seseorang yang mengangkat dirinya lebih dari yang sepatutnya, terdapat sejumlah orang yang dapat mengawasi dan mengingatkan dia sehingga ambisinya mereka kendalikan.[37]
Jadi, bagi Calvin pemerintahan Kristen menyatakan ketaatannya kepada Allah terutama dalam kesetiannya dalam pelaksanaan tugas yang diberikan Allah kepadanya, bukan dalam upaya untuk mengkristenakan masyarakat. Karena tugas menjadikan warga masyarakat orang Kristen yang baik adalah tugas Gereja, yang harus didukung oleh pemerintah tetapi tidak boleh diambil alih.[38]
Dari uraian di atas jelas bahwa Calvin menganggap pemerintah sipil sebagai suatu karunia besar yang diberi Allah kepada manusia, termasuk orang Kristen, untuk memelihara keadilan, damai dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, IA menekankan bahwa bahwa semua orang, apa lagi orang Kristen, harus taat kepada pemerintah, bahkan harus menghormatinya sebagai hamba Allah (Rm.13; 1 Ptr. 2:17).[39]

5.   Hubungan Gereja dan Negara Menurut Calvin.
Menurut Christiaan de Jonge dalam bukunya Apa itu Calvinisme? Menjelaskan bahwa pemahaman Calvin mengenai negara dan hubungan antara gereja dan pemerintah pertama-tama menjadi tampak dari penolakkannya terhadap penganut reformasi radikal yang menganggap pemerintahan itu jahat.[40]
Menurut Calvin pemerintah dunia tidak berhak dalam urusan perkara-perkara yang semata-mata mengenai hidup Gereja sendiri – berdasarkan pada uraian latar-belakang di atas.
Namun meskipun demikian, Calvin juga tidak menyetujui pendapat para reformasi radikal yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen tidak memerlukan lagi negara, yang adalah bagian dari dunia.[41] Karena dunia lama belum berlalu, pemerintah perlu, bahkan merupakan anugerah Allah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Sehingga menurut Calvin, orang yang meniadakan pemerintah dan negara tidak memahami keadaan dunia, yang masih dikuasai oleh dosa. Mereka juga tidak menghargai apa yang dibuat Allah untuk melindungi orang baik terhadap yang jahat.[42]
Walaupun Calvin menganggap negara perlu selama gereja masih berada di dunia ini, itu tidak berarti bahwa ia menyerahkan segala-galanya kepada pemerintah. dengan tegas ia menetapkan batas antara gereja dan negara atau, untyuk memakai peristilahan yang lazim dipergunakan pada waktu itu, antara pemerintahan rohani dan duniawi atau politik (dalam arti “yang menyangkut polis”, yaitu kota atau lebih umum masyarakat). Berkaitan dengan itu, Calvin menekankan bahwa gereja dan negara menerima dari Allah tugas yang berbeda. Pembagian tugas ini seharusnya menjegah bahaya konflik antara gereja dan negara mengenai agama. Biarapun kemajuan agama adalah kepentingan negara, kepada negara tidak diberi tugas untuk mengatur apa yang terjadi di dalam gereja. Hak bahkan kewajiban pemerintah untuk menentukan undang-undangn terbatas pada bidang kehidupan lahiriah.[43]
Hubungan gereja dan negara dalam teologi Calvin sangat erat dan dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini saling berdampingan, sama-sama bertugas melaksanakan kehendak Allah dan mempertahankan kehormatannya.[44] Namun bukan dalam arti Negara boleh saja mengambil alih semua apa yang menjadi bagian gereja, dan juga sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh karena Calvin yang mencita-citakan suatu pemerintahan yang teokrasi.[45] Sehingga dalam mewujud nyatakan cita-cita teokrasi tidak cukup kalau hanya melalui pemberitaan firman yang dilakukan oleh Gereja, tetapi seluruh kehidupan, baik hidup perorangan, maupun hidup masyarakat, harus diatur sesuai dengan kehendak Allah. Dan dalam hal inilah pun pemerintah mempunyai tugas untuk mendukung gereja. Ini disebabkan karena Johannes Calvin memiliki pandangan positif kepada Negara. Ia menolak gereja sebagai subordinasi (di bawah) Negara, atau dengan subordinasi gereja, tetapi iuxtaposisi (kesetaraan yang berdampingan) dan kooperatif (mitra kerjasama).

Bab IV
Penutup
Analisa
Menurut Calvin – berdasarkan uraian di atas – bahwa Gereja dan Negara adalah dua lembaga yang berdampingan, sama-sama bertugas melaksanakan kehendak Allah dan mempertahankan kehormatannya. Lalu sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana hubungan gereja dan negara pada saat sekarang ini – khusunya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Apakah prakteknya sama seperti yang dikatakan oleh Johannes Calvin? Apakah negara sudah menjadi pelindung bagi Gereja?
Indonesia memang telah memberikan jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi Indonesia yakni UUD 1945. Lalu yang menjadi pertanyaan ialah apakah jaminan ini telah didapatkan oleh gereja? Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa meskipun telah ada jaminan hukum yang cukup memadai, namun jaminan kebebasan beragama di Indonesia justru semakin rentan.[46] Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman atas jaminan kebebasan beragama di Indonesia mulai terjadi dengan adanya berbagai tindakan baik yang dilakukan oleh Negara, institusi sipil, dan berbagai kelompok masyarakat. Setidaknya tercatat, berbagai peristiwa yang terkait dengan masalah kebebasan beragama di antaranya penutupan gereja di Jawa Barat.[47] Oleh karena itu, maka menurut penulis bahwa gagasan Calvin ini penting untuk diterapkan guna memelihara hubungan antara pemerintah dan gereja-gereja. Yang ada di Indonesia.
Penutup
Dari seluruh uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hubungan gereja dan Negara menurut Johannes Calvin ialah bersifat sejajar, maksudnya gereja bukan sebagai subordinasi (di bawah) Negara, atau dengan subordinasi gereja, tetapi iuxtaposisi (kesetaraan yang berdampingan) dan kooperatif (mitra kerjasama).


Daftar Pustaka
Abineno, J.L.ch., Garis-garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK-GM; 2000.Solly Lubis, M., Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran di dalam dan Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-GM; 2000.
Berkhof, H.dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM; 1996.
Calvin, Yohanes, Institutio Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK-GM; 2003.
Dankbaar, W.F., Calvin Djalan dan kerjanja, Djakarta: BPK; 1967.
Douglas Harper, "Church". http://en.wikipedia.org/wiki/Christian_Church#cite_note-etymonline-3, diakses tanggal 12 Desember 2011.
http://www.cybereduweb.com/, diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
http://en.wikipedia.org/wiki/Christian_Church, diakses tanggal 12 Desember 2011.
Jonge, Christian de, Apa itu Calvinisme?, Jakarta:BPK-GM; 2001.
Jonge, Christian de, Gereja Mencari Jawab Kapita Selekta Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM; 1997.
Jonge Chr. de dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja, Jakarta: BPK-GM; 2003.
McGrath, Alister E., Sejarah pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK-GM; 1997.
Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK; 1991.
Van den End, Th., Harta dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM; 2000.


[1] M.Solly Lubis, http://www.cybereduweb.com/, diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Christian_Church, diakses tanggal 12 Desember 2011.
[3] Douglas Harper, "Church". http://en.wikipedia.org/wiki/Christian_Church#cite_note-etymonline-3, diakses tanggal 12 Desember 2011.
[4] Ibid.
[5] Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta:BPK-GM; 2001), hlm. 6.
[6] W.F. Dankbaar, Calvin Djalan dan kerjanja, (Djakarta:BPK;1967), hlm. 19.
[7] F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK; 1991), hlm. 64.
[8] Ibid.
[9] Christian de Jonge, Op.Cit.,
[10] F.D.Wellem, Op.Cit. hlm. 65.
[11] Ibid.
[12] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan Sekitar Gereja, (Jakarta:BPK-GM;2000), hlm. 56.
[13] F.D. Wellem, Op.Cit., hlm. 66
[14] Ibid, 67.
[15] Christian de Jonge, Op.Cit., hlm. 264.
[16] Augustinus ialah seorang uskup dari Hippo dan juga sebagai seorang bapa gereja yang pandangan-pandangan teologinya sangat berpengaruh dalam Gereja barat. Dan juga sebagai penentang aliran donatisme.
[17] Christian de Jonge, Op.Cit.
[18] Ibid.
[19] H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM;1996), hlm. 160.
[20] Ibid.
[21] Christian de Jonge, Gereja Mencari Jawab Kapita Selekta Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM;1997), hlm.29.
[22] H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Op.Cit, hlm. 161.
[23] Ibid, hlm. 30.
[24] ibid, hlm. 162.
[25] Chr. de Jonge dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja, (Jakarta:BPK-GM;2003, hlm. 33
[26] Ibid.
[27] Yohanes Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta:BPK-GM;2003), hlm. 185.
[28] Alister E. McGrath, Sejarah pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK-GM;1997), hlm.259.
[29] Ibid, hlm. 254.
[30] J.L.ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta: BPK-GM; 2000), hlm.2.
[31] Yohanes Calvin, Op.Cit., hlm. 310.
[32] Ibid, hlm. 313.
[33] Hal ini dimaksudkan oleh Calvin untuk menolak pendapat para Reformasi radikal (misalnya penganut Anabaptis) yang berpendapat bahwa bagi orang-orang Kristen sejati tidak memrlukan lagi negara, yang adalah bagian dari dunia lama.
[34] Ibid, 315.
[35] Ibid, 316.
[36] Ibid, 317.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Christian de Jonge, Op.Cit., hlm. 277.
[40] Ibid, hlm. 265
[41] Ibid, hlm. 268
[42] Ibid.
[43] Ibid, hlm. 270
[44] Th. Van den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: BPK-GM; 2000), hlm. 188.
[45] Teokrasi, ialah kekuasaan Allah atas seluruh kehidupan.
[46] Adnan Buyung Nasution, Jaminan Kebebasan Beragama dalam Negara hukum di Indonesia, dalam Kebebasan Beragama, HAM dan Komitmen Kebangsaan (edt.) Erick J. Barus, (Jakarta: Bidang Marturia-PG; 2009), hlm. 31.
[47] Ibid, hlm 31-32.
Senat Mahasiswa STT BNKP Sundermann Julita Septanius Telaumbanua Ketua