HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA MENURUT JOHANNES CALVIN
Bab I
Pendahuluan
Menurut M.Solly Lubis, S.H. bahwa
Negara adalah suatu bentuk pergaulan manusia atau suatu komunitas. Negara
itu mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu mempunyai daerah tertentu, rakyat
tertentu, dan mempunyai pemerintahan.
Gereja
Kristen adalah
asosiasi pengikut Yesus Kristus. Istilah Yunani
ἐκκλησία, yang dalam penampilan dalam
Perjanjian Baru biasanya diterjemahkan sebagai "gereja",
pada dasarnya berarti "perakitan".
Dalam
Kata bahasa
Inggris "gereja" adalah dari kata Cirice Inggris Kuno, berasal dari
Barat Jermanik kirika, yang pada gilirannya berasal dari bahasa Yunani κυριακή kuriakē, yang berarti "Tuhan" (bentuk posesif κύριος kurios "penguasa, tuan") .
Kuriakē dalam arti
"gereja" adalah kemungkinan besar pemendekan κυριακὴ οἰκία kuriakē oikia
("rumah Tuhan") atau ἐκκλησία κυριακή kuriakē ekklesia
("jemaat Tuhan")
gereja Kristen kadang-kadang disebut κυριακόν kuriakon. (kata sifat yang berarti "Tuhan")
dalam bahasa Yunani dimulai pada abad ke-4, namun ekklesia dan βασιλική basilikē lebih umum.
Gereja dan
Negara adalah dua lembaga pemerintahan yang ada di tengah-tengah kehidupan umat
manusia di bumi ini. Dan juga sama-sama memiliki peranan di dalam kehidupan
umat manusia. Namun meskipun demikian, kedua lembaga ini memiliki fungsi dan
tanggung jawab yang berbeda.
Gereja lahir
di tengah-tengah percaturan dunia. Keberadaan gereja tidak dapat dilepaskan
dari tatanan-tatanan yang berlaku dalam dunia sekitarnya. Apa yang terjadi
dalam masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan gereja, demikian pula sebaliknya.
Gereja juga punya andil besar untuk mempengaruhi masyarakat.
Sejarah
hubungan Gereja dan Negara telah terjalin seiring dengan perkembangan Gereja
dari abad-ke abad. Sejak abad pertama hingga abad pertengahan kualitas hubungan
Gereja dan Negara sangat dipengaruhi oleh situasi politik.
Dan untuk
mengetahui lebih dalam lagi tentang hubungan Gereja dan Negara, maka pada
kesempatan ini penulis akan menyajikan bagaimana hubungan antara gereja dan negara berdasarkan
pada pandangan Johannes Calvin?
Bab II
Pembahasan
1. Sejarah
Hidup Johannes Calvin
Sebelum
penulis menguraikan lebih jauh bagaimana pandangan Calvin tentang hubungan
Gereja dan Negara maka terlebih dahulu penulis uraikan sejarah hidup dari tokoh
reformatoris ini.
Johanes
Calvin adalah seorang pemimpin gerakan reformasi Gereja di Swiss. Ia merupakan
generasi yang kedua dalam jajaran pelopor dan pemimpin gerakan reformasi gereja
pada abad ke-16, namun peranannya sangat besar dalam gereja-gereja
reformatoris.
Johanes
Calvin dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1509 dengan Nama Jean Cauvin di Noyon,
sebuah desa di sebelah Utara kota Paris, Perancis. Kemudian hari Nama Cauvin,
sesuai dengan kebiasaan di kalangan kaum berpendidikan waktu itu,
dilatinisasikan menjadi Calvinus.
Ayahnya bernama Gerard Cauvin yang berasal dari keluarga yang biasa saja: dari
keluarga penambang perahu. Ayah Calvin berhasil menduduki beberapa jabatan
penting dalam gereja dan masyarakat: ia pegawai keuangan kota dan Sekretaris
dari uskup Charles de Hangest.
Ibunya bernama Jeanne Lefranc. Ibu Johannes Calvin meninggal dunia tatkala
Johanes Calvin masih muda. Calvin memiliki empat saudara lelaki dan dua orang
saudara perempuan. Keluarga Calvin mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga
bangsawan Noyon. Oleh karena itu, pendidikan elementernya ditempuh dalam istana
bangsawan Noyon, Mommor, bersama-sama dengan anak-anak bangsawan itu. Itulah
sebabnya maka Calvin memperlihatkan sifat-sifat kebangsawanan.
Pada mulanya
ayah Calvin menginginkan anaknya untuk menjadi imam. Pada umur 12 tahun Calvin
sudah menerima "tonsur" (pencukuran rambut dalam upacara inisiasi
biarawan) dan ia sudah menerima upah dari paroki St. Martin de Marteville.
Dengan penghasilan tersebut Calvin dapat meneruskan pendidikannya pada jenjang
yang tinggi. Pada tahun 1523 Calvin memasuki College de la Marche di Park. Di
sini IA belajar retorika dan Bahasa Latin. Bahasa Latin dipelajarinya pada
seorang ahli bahasa Latin yang terkenal, yaitu Marthurin Cordier. Kemudian ia
pindah ke College de Montague. Di sini Calvin belajar filsafat dan teologia. Di
sekolah inilah Calvin belajar bersama dengan Ignatius dari Loyola, yang
dikemudian hari menjadi musuh besar gerakan reformasi.
Setelah
Calvin menyelesaikan pendidikannya itu tiba-tiba ayahnya tidak menginginkan
anaknya lagi untuk menjadi imam. Ayahnya menginginkan Calvin menjadi seorang
ahli hukum. Hal ini disebabkan oleh perselisihan antara ayah Calvin dengan
keuskupan Noyon.
Oleh karena itu Calvin memasuki Universitas Orleans (tahun 1528-1529) untuk
belajar ilmu hukum. Kemudian ia belajar juga di Universitas Bourges dan Paris.
Bahasa Yunani dan Ibrani dipelajarinya dari Melchior Wolmar, seorang ahli
bahasa terkenal pada abad itu. Dengan demikian Calvin menjadi seorang ahli
hukum. Studi hukumnya sangat mempengaruhinya dalam usaha pembaharuan dan
penataan gereja reformasi yang dipimpinnya. Calvin sangat menekankan ketertiban
dan keteraturan dalam gereja.
April 1532,
Calvin menerbitkan bukunya yang pertama, yaitu: Komentar Kitab De Clementia.
Dalam buku ini dipersembahkan kepada Claude de Hangest, sahabat sekolahnya di
keluarga bangsawan Mommer, di Noyon dahulu. Buku itu memperlihatkan Calvin
sebagai seorang humanisme sejati. Dalam buku ini tidak terdapat tanda-tanda
bahwa Calvin telah beralih ke pihak reformasi di Perancis. Dapat diduga bahwa
Calvin telah membaca tulisan-tulisan Luther dan para reformator Swiss lainnya.
Bilamana Calvin menjadi pengikut gerakan reformasi tidak dapat ditentukan dengan
tepat. Pertobatannya kemungkinan terjadi pada akhir 1532 dan awal 1533. Hal ini
didasarkan kepada suratnya kepada Bucer, yang meminta kepada Bucer di
Strausburg untuk memberi perlindungan kepada orang-orang reformatoris yang
melarikan diri karena dihambat di Perancis. Surat tersebut ditulis Oktober
1533. Mengenai pertobatannya, Calvin menulis sebagai berikut: " . . .
muncullah suatu ajaran yang baru, yang tidak membelokkan kami dari pengakuan
Kristen, malah justru membawa kami kembali kepada sumbernya yang asli,
menyucikannya dari segala noda, mengembalikan kepadanya kemurniannya yang
semula. Tetapi aku benci kepada hal hal yang baru itu, dan sukar mendengarnya
sekalipun. Dan pada mulanya aku menentangnya sekeras-kerasnya, karena aku telah
menempuh jalan yang sesat dan penuh kebodohan. Tetapi berkat pertobatan yang
tiba- tiba, Allah menujukan hatiku kepada kepatuhan".
Pada tahun 1534 golongan
reformatoris di Perancis dihambat dengan keras. Sehingga mereka terpaksa
menyelamatka diri mereka dengan pergi ke Swiss. Calvinpun ikut melarikan diri
ke Strausburg di mana ia diterima oleh Bucer. Kemudia Calvin meneruskan
perjalananannya ke Basel.
Calvin tinggal di Basel setahun lebih lamanya. Selama itu Calvin masih pergi ke
Perancis mengunjungi sahabat-sahabatnya dengan memakai nama-nama samaran
seperti: Martianus Lucanius, Carolus Passelius, Calpunius, dan sebagainya. Di
Basel inilah Calvin menerbitkan bukunya yang terkenal itu, yaitu: Religionis
Christianae Institutio (Pengajaran tentang Agama Kristen), tahun 1536. Biasanya
dikenal dengan sebutan Institutio.
Pada tahun
1536 Calvin pergi ke Italia. Dalam perjalanan pulang ke Basel ia terpaksa
melalui Jenewa dan menginap di sana. Farel mendengar bahwa Calvin berada di
Jenewa sehingga Farel mencari Calvin. Farel meminta kepada Calvin untuk tinggal
di Jenewa dan bersama-sama dengan Farel menata kota Jenewa menjadi kota
reformasi. Dua bulan sebelumnya Dewan Kota Jenewa telah memutuskan untuk
menganut paham reformasi. Permintaan Farel ditolak oleh Calvin. Calvin mau
hidup tenang dan terus menulis karya-karya teologia. Ia merasa tidak cocok
dengan pekerjaan praktis dalam jemaat. Namun Farel mendesaknya dengan berkata:
"Dengan Nama Allah yang mahakuasa aku katakan kepadamu: jikalau engkau
tidak mau menyerahkan dirimu kepada pekerjaan Tuhan ini, Allah akan mengutuki
engkau karena engkau lebih mencari kehormatan dirimu sendiri daripada kemuliaan
Kristus". Calvin melihat panggilan Allah kepadanya lewat Farel sehingga ia
tinggal di Jenewa.
Pada
tahun 1538 Calvin bersama Farel dipecat oleh Dewan Kota Jenewa, karena tak
tahan mengikuti peraturan-peraturan bergereja yang disusun oleh Calvin.
Kemudian pada tahun 1539 Calvin dipanggil oleh jemaat Strausburg agar IA
menjadi pendeta di Sana. Dalam jemaat ini Calvin bersama-sama Butzer dapat
menerapkan cita-cita yang gagal di Jenewa dahulu. Di sini Calvin mengusahakan
nyanyian Mazmur dengan bantuan ahli musik terkenal; yaitu Clement Marot, Louis
Bourgois dan Maitre Piere. Di sini pula Calvin mulai menulis tafsiran-tafsiran
Alkitab serta merevisi Institutio. Di sinilah pula Calvin menikah dengan
Idelette de Bure, seorang janda bangsawan.
Pernikahannya hanya berlangsung sembilan tahun lamanya, karena kemudian
istrinya meninggal tanpa memberi keturunan kepada Calvin.
Dan
pada tahun 1541 Calvin kembali ke Jenewa atas permintaan dewan kota setempat.
Hal ini dewan Kota lakukan untuk mengatasi upaya seorang Kardinal GKR untuk
menggiring warga Kota itu untuk kembali ke GKR. Calvin tinggal dan bekerja di
sini hingga meninggalnya, 27 Mei 1564, karena mengidap penyakit TBC.
2. Latar-belakang
Pemikiran Johannes Calvin Terhadap Hubungan Gereja dan Negara
Sebelum
dibahas latar-belakang pemikiran Calvin mengenai hubungan gereja dan negara,
maka perlu ditegaskan bahwa para reformator adalah anak zaman mereka. Akibatnya
pemahaman mereka tentang hubungan gereja dan negara tidak terlepas dari
realitas awal abad ke-16.
Menurut
Christian de Jonge, bahwa pada awalnya gereja dan negara saat itu, biarpun
merupakan organisasi yang berbeda, menyangkut orang-orang yang sama, yakni
seluruh masyarakat. Untuk keadaan ini biasanya istilah corpus Christianum, artinya tubuh Kristen. Dengan istilah ini yang
dimaksudkan adalah adanya anggapan bahwa masyarakat merupakan suatu kesatuan,
dan gereja sebagai jiwa dan negara sebagai tubuh. Gereja mengurus
masalah-masalah yang berhubungan dengan keselamatan abadi, sedangkan pemerintah
memajukan kesejahteraan manusia di dunia ini dan dua-duanya bekerja sama demi
kemulian nama Kristus dan Allah.
Pokok pikiran corpus Christianum ini sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran
yang dikemukakan oleh Augustinus
dalam bukunya De civitate Dei
(tentang Negra Allah). Menurut Agustinus gereja di dunia ini adalah persekutuan
semua warga negara Allah yang sedang menuju ke keselamatan surgawi dan gerejalah
yang melayankan kepada anggotanya semua yang perlu untuk keselamatan itu, yaitu
Firman dan Sakramen-sakramen. Sementara itu, negara juga menggunakan kuasannya
untuk melindungi orang yang baik terhadap orang yang jahat. Sehingga pemerintah
Kristen dapat ikut menyumbangkan pada kemajuan negara Allah.
Namun,
pada abad pertengahan, kerjasama antara gereja dan pemerintah tidak selalu
memperlihatkan keselarasan yang dinyatakan dalam gagasan Corpus Christianum.
Khususnya sejak sekitar tahun 1050, di mana pertikaian tentang pertanyaan siapa
yang memegang kuasa tertinggi di masyarakat Kristen.
Gereja menuntut kuasa atas negara, alasannya ialah karena yang rohani lebih
agung dari yang jasmani dan duniawi. Juga pemerintah berpendapat bahwa negara,
karena tugasnya, boleh mencampuri urusan gereja kalau kesejahteraan masyarakat
dibahayakan oleh gereja.
Dan pertikaian ini semakin tajam hingga pada akhir abad pertengahan, menjelang
reformasi. Negara semakin kuat dan tidak mau lagi diatur oleh gereja.
Jadi
yang menimbulkan permasalahan antara gereja dan Negara pada abad pertengahan yaitu
bahwa gereja cenderung mendikte pemerintah tentang bagaimana harus mengasuh
gereja, maupun bahwa Negara dalam upaya untuk menompang gereja campur tangan
dalam urusan internal gereja. Dan hal inilah-salah satu bagian yang ditentang
oleh Johannes Calvin.
Di
Jenewalah Calvin menjadi seorang reformatoris, karena ia diundang untuk ikut
mereformasikan gereja di Jenewa oleh Farel. Mengapa Farel mengundang Calvin?
Menurut H. Berkhof dalam bukunya sejarah gereja bahwa Jenewa adalah sebuah kota
yang diperintah oleh seorang uskup, tetapi sudah lama Hertog Savoya, yang
berkuasa di daerah Selatan Jenewa, ingin memasukkan kota Jenewa tersebut ke
dalam kerajaannya. Ketika bahaya itu meningkat, maka Jenewa mencari bantuan
pada perserikatan kanton-kanton injili. Bantuan politik itu diberikan kepada
Jenewa oleh kanton-kanton injili dan atas desakkan kanton Bern dan karena
pertentangan politik antara Jenewa dengan Savoya yang beragama Katolik Roma,
maka Jenewa menerima pembaharuan pada tahun 1535. Sekarang Jenewa adalah, sama seperti Zurich suatu
kota yang bebas. Mereka membuang dengan senang hati segala kewajiban, peraturan
dan upacara GKR yang sudah lama dirasakana sebagai belenggu yang merintangi kebebasan
hidupnya, supaya sekarang mereka itu boleh hidup menurut hawa nafsunya saja. Dan untuk menangani hal inilah maka Farel meminta
bantuan Calvin dalam membina kehidupan rohani warga Jenewa.
Setelah
Jenewa membebaskan diri dari uskupnya, pemerintah kota mulai mereformasikan
gereja dengan mengikuti gaya reformasi gereja di Swiss. Salah satu corak
reformasi Swiss adalah bahwa pemerintah kota mencabut hak Gereja Katolik Roma
untuk mengekskomunikasikan orang dan memberikannya kepada dirinya sendiri.
Dan tindakkan ini ditolak oleh Calvin, karena mengurangi kebebasan gereja. Sehingga
pada akhir tahun 1536 Calvin menyusun tata gereja baru bersama dengan Farel
sebagai langkah awalnya dalam memulaikan pekerjaaannya, dalam rangka menata
kembali kehidupan warga kota Jenewa. Karena bagi Calvin, agar nyata bahwa
Krituslah Tuhan jemaat, maka perlu ada disiplin. Namun, disiplin yang ada itu
tidak boleh diserahkan di tangan pemerintah (dewan kota). Sebab Kristus
sendirilah kepala Gereja; sehingga pemerintah dunia tidak berhak dalam urusan
perkara-perkara yang semata-mata mengenai hidup Gereja sendiri. Dalam hal ini, Bantuan pemerintah dalam reformasi bukannya
tidak dihargai, tetapi hanya untuk menyatakan kalau Gereja adalah milik Kristus
dan pendeta bukan pegawai pemerintah, melainkan pelayan Firman yang bertanggung
jawab kepada Tuhan.
Dari gagasannya inilah, maka Calvin bersama Farel mendapatkan perlawanan dari
Dewan kota Jenewa. Sehingga dewan kota melarang pendeta-pendeta naik mibar. Dan
yang lebih anarkisnya lagi ialah pada bulan April 1538, Calvin bersama Farel
dipecat dan dibuang.
Demikian juga halnya di kota-kota lain, di
mana pemerintah menganggap gereja sebagai miliknya, maka Calvin tampil untuk menolak
sikap seperti itu. Jadi, hal inilah yang melatar belakangi pemandangan Calvin
tentang hubungan antara Gereja dan Negara.
3. Pandangan
Calvin Tentang Gereja
Dalam
memahami gereja, maka Calvin mencoba mengulangi perkataan-perkataan Cyprianus,
maka Calvin mengatakan bahwa gereja adalah ibu semua orang percaya. Yang tidak
memiliki gereja sebagai ibu tidak dapat memiliki Allah sebagai Bapa dan di luar
gereja tidak ada keselamatan. Dan dalam hal inilah dapat dilihat bahwa gereja
sebagai sarana keselamatan karena firman (jadi ajaran, bukan jabatan rasuli)
dan sakramen-sakrasmen.
Menurut
Calvin, Gereja adalah alat utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang
percaya untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus. Menurut Calvin, bahwa pemerintahan Gereja
merupakan pemerintahan yang letaknya di dalam jiwa atau batin manusia yang
menyangkut kehidupan kekal. Ia bersifat Rohani, dan mengajar hati nurani supaya
saleh dan mengabdi kepada Allah.
Sehingga Calvin mengidentifikasikan gereja sebagai suatu lembaga atau badan
yang dibangun secara ilahi yang di dalamnya Allah melakukan penyucian umatnya.
Namun, perlu juga diketahui bahwa bagi Calvin Gereja yang benar dapat ditemukan
ketika Injil secara benar diberitakan dan sakramen-sakramen secara benar
dilayankan – sama seperti pandangan Luther.
Dan hal
ini juga didukung olen pendapat J.L.Ch. Abineno yang menjelaskan bahwa
Kehadiran Gereja di dunia ini menunjukkan dua bentuk permunculannya. Di mana di
satu sisi sebagai perhimpunan manusia yang mempunyai kesamaan tertentu dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya (yaitu menciptakan keadilan, kebenaran,
perdamaian dan keutuhan seluruh ciptaan). Dan di pihak lain, merupakan
persekutuan rohani dengan Yesus Kristus sebagai kepala Gereja.
4. Pandangan
Calvin Tentang Negara
Negara
adalah sebuah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi
yang sah dan ditaati oleh rakyat. Atau dengan kata lain Negara juga diartikan
sebagai kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisir di bawah sebuah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik yang berdaulat, sehingga Negara berhak menentukan
tujuan nasionalnya. Lalu bagaimana pandangan Calvin tentang negara?
Bagi
Johannes Calvin – menurut uraiannya dalam bukunya yang berjudul Institutio –
pemerintahan Negara ialah pemerintahan yang hanya bermaksud untuk mentapkan
tata kehidupan yang benar dari segi sipil serta lahiriah.
Menurut Calvin, tugas pemerintah sipil
itu ialah mendukung dan melindungi penyembahan kepada Allah dari sudut
lahiriah, mempertahankan ajaran yang sehat tentang agama dan membela kedudukan
gereja, mengatur kehidupan dengan berpedoman pada pergaulan masyarakat, membina
kesusilaan sesuai dengan keadilan seperti yang ditetapkan oleh undang-undang
negara, menumbuhkan dan memupuk perdamaian serta ketentraman umum.
Selain daripada itu, Calvin juga membrikan penghargaan terhadap pemerintah
negara
dengan menjelaskan bahwa kekuasaan politis itu suatu panggilan, yang tidak
hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi yang paling kudus dan yang paling
terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang
fana.
Hal ini disebabkan oleh karena peran negara sebagai pelindung bagi Gereja dan
abdi Allah yang memperjuangkan keadilan.
Lebih lagi Calvin menambahkan bahwa bahwa bentuk pemerintahan negara yang lebih
baik menurutnya ialah pemerintahan yang aristokrasi, ataupun bentuk
pemerintahan yang terdiri dari campuran tepat pemerintah aristokrasi dengan
pemerintah oleh para warga seluruhnya.
Dan
dalam hal ini Calvin memberikan alasan mengapa ia lebih memilih pemerintahan
yang bersifat aristokrasi, yaitu bukan disebabkan oleh karena bentuknya,
melainkan karena jarang sekali terjadi bahwa raja-raja menahan diri sedemikian
rupa, hingga kemauan mereka tidak pernah menyimpang dari yang yang adil dan
lurus, dan jarang sekali terjadi bahwa mereka diperlengkapi dengan kecerdasan
serta kebijaksanaan yang begitu besar sehingga mereka sendiri sudah tahu
batas-batas untuk bertindak. Jadi, mengingat kejahatan atau kekurangan orang,
lebih aman keadaannya dan lebih ringan bebannya bila lebih dari satu orang yang
memegang kemudi, supaya mereka dapat saling membantu, saling mengajar dan
memberi peringatan, dan supaya bila ada seseorang yang mengangkat dirinya lebih
dari yang sepatutnya, terdapat sejumlah orang yang dapat mengawasi dan
mengingatkan dia sehingga ambisinya mereka kendalikan.
Jadi,
bagi Calvin pemerintahan Kristen menyatakan ketaatannya kepada Allah terutama
dalam kesetiannya dalam pelaksanaan tugas yang diberikan Allah kepadanya, bukan
dalam upaya untuk mengkristenakan masyarakat. Karena tugas menjadikan warga
masyarakat orang Kristen yang baik adalah tugas Gereja, yang harus didukung
oleh pemerintah tetapi tidak boleh diambil alih.
Dari
uraian di atas jelas bahwa Calvin menganggap pemerintah sipil sebagai suatu
karunia besar yang diberi Allah kepada manusia, termasuk orang Kristen, untuk
memelihara keadilan, damai dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, IA
menekankan bahwa bahwa semua orang, apa lagi orang Kristen, harus taat kepada
pemerintah, bahkan harus menghormatinya sebagai hamba Allah (Rm.13; 1 Ptr. 2:17).
5. Hubungan
Gereja dan Negara Menurut Calvin.
Menurut
Christiaan de Jonge dalam bukunya Apa itu
Calvinisme? Menjelaskan bahwa pemahaman Calvin mengenai negara dan hubungan
antara gereja dan pemerintah pertama-tama menjadi tampak dari penolakkannya terhadap
penganut reformasi radikal yang menganggap pemerintahan itu jahat.
Menurut
Calvin pemerintah dunia tidak berhak dalam urusan perkara-perkara yang
semata-mata mengenai hidup Gereja sendiri – berdasarkan pada uraian
latar-belakang di atas.
Namun
meskipun demikian, Calvin juga tidak menyetujui pendapat para reformasi radikal
yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen tidak memerlukan lagi negara, yang
adalah bagian dari dunia. Karena dunia lama belum berlalu, pemerintah perlu,
bahkan merupakan anugerah Allah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat.
Sehingga menurut Calvin, orang yang meniadakan pemerintah dan negara tidak
memahami keadaan dunia, yang masih dikuasai oleh dosa. Mereka juga tidak
menghargai apa yang dibuat Allah untuk melindungi orang baik terhadap yang
jahat.
Walaupun
Calvin menganggap negara perlu selama gereja masih berada di dunia ini, itu
tidak berarti bahwa ia menyerahkan segala-galanya kepada pemerintah. dengan
tegas ia menetapkan batas antara gereja dan negara atau, untyuk memakai
peristilahan yang lazim dipergunakan pada waktu itu, antara pemerintahan rohani
dan duniawi atau politik (dalam arti “yang menyangkut polis”, yaitu kota atau
lebih umum masyarakat). Berkaitan dengan itu, Calvin menekankan bahwa gereja
dan negara menerima dari Allah tugas yang berbeda. Pembagian tugas ini
seharusnya menjegah bahaya konflik antara gereja dan negara mengenai agama.
Biarapun kemajuan agama adalah kepentingan negara, kepada negara tidak diberi
tugas untuk mengatur apa yang terjadi di dalam gereja. Hak bahkan kewajiban
pemerintah untuk menentukan undang-undangn terbatas pada bidang kehidupan
lahiriah.
Hubungan
gereja dan negara dalam teologi Calvin sangat erat dan dapat disimpulkan bahwa
kedua lembaga ini saling berdampingan, sama-sama bertugas melaksanakan kehendak
Allah dan mempertahankan kehormatannya.
Namun bukan dalam arti Negara boleh saja mengambil alih semua apa yang menjadi
bagian gereja, dan juga sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh karena Calvin yang
mencita-citakan suatu pemerintahan yang teokrasi.
Sehingga dalam mewujud nyatakan cita-cita teokrasi tidak cukup kalau hanya
melalui pemberitaan firman yang dilakukan oleh Gereja, tetapi seluruh
kehidupan, baik hidup perorangan, maupun hidup masyarakat, harus diatur sesuai
dengan kehendak Allah. Dan dalam hal inilah pun pemerintah mempunyai tugas untuk
mendukung gereja. Ini disebabkan karena Johannes Calvin memiliki pandangan
positif kepada Negara. Ia menolak gereja sebagai subordinasi (di bawah) Negara,
atau dengan subordinasi gereja, tetapi iuxtaposisi
(kesetaraan yang berdampingan) dan kooperatif (mitra kerjasama).
Bab IV
Penutup
Analisa
Menurut Calvin –
berdasarkan uraian di atas – bahwa Gereja dan Negara adalah dua lembaga yang
berdampingan, sama-sama bertugas melaksanakan kehendak Allah dan mempertahankan
kehormatannya. Lalu sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana hubungan gereja
dan negara pada saat sekarang ini – khusunya bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia? Apakah prakteknya sama seperti yang dikatakan oleh Johannes Calvin?
Apakah negara sudah menjadi pelindung bagi Gereja?
Indonesia
memang telah memberikan jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi Indonesia
yakni UUD 1945. Lalu yang menjadi pertanyaan ialah apakah jaminan ini telah
didapatkan oleh gereja? Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa meskipun telah
ada jaminan hukum yang cukup memadai, namun jaminan kebebasan beragama di
Indonesia justru semakin rentan.
Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman atas jaminan kebebasan beragama di
Indonesia mulai terjadi dengan adanya berbagai tindakan baik yang dilakukan
oleh Negara, institusi sipil, dan berbagai kelompok masyarakat. Setidaknya
tercatat, berbagai peristiwa yang terkait dengan masalah kebebasan beragama di
antaranya penutupan gereja di Jawa Barat.
Oleh karena itu, maka menurut penulis bahwa gagasan Calvin ini penting untuk
diterapkan guna memelihara hubungan antara pemerintah dan gereja-gereja. Yang
ada di Indonesia.
Penutup
Dari seluruh
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hubungan gereja dan Negara menurut
Johannes Calvin ialah bersifat sejajar, maksudnya gereja bukan sebagai
subordinasi (di bawah) Negara, atau dengan subordinasi gereja, tetapi iuxtaposisi (kesetaraan yang
berdampingan) dan kooperatif (mitra kerjasama).
Daftar Pustaka
Senat Mahasiswa STT BNKP Sundermann
Julita Septanius Telaumbanua
Ketua