Senin, 28 November 2011

EKSKLUSIVISME DAN PARTIKULARISME BANGSA ISRAEL


I.     Pendahuluan
Pada mata Kuliah Teologi Perjanjian Lama 2 ini, penulis mendapat kesempatan untuk membahas tentang Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel. Dan untuk mengetahui apa dan bagaimana itu Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel, maka penulis akan mencoba untuk menguraikannya lewat pembahasan berikut ini.
II.   Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel
a. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa kata Eksklusivisme berarti paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.[1] Dan kata Partikularisme berarti sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi (diri-sendiri) di atas kepentingan umum; aliran politik, ekonomi, atau kebudayaan yang mementingkan daerah atau kelompok khusus; sukuisme.[2]
Dari kedua pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa baik kata Eksklusivisme maupun kata Partikularisme mengandung makna sebab-akibat, yang bernilai negatif terhadap sikap dan sifat bangsa Israel. Sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian dari judul makalah ini (Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Indonesia) ialah suatu sifat atau paham bangsa Israel untuk memisahkan diri dari masyarakat di luar bagsa Israel (non-Israel). Dan hal ini merupakan akibat dari sistem suku bangsa Israel yang mengutamakan kepentingan daerah atau sukunya.
Dari pengertian ini, maka muncullah suatu pertanyaan mengapa bangsa Israel menganut paham Eksklusivisme dan Partikuarisme? Untuk menjawab peryanyaan itu, maka penulis akan menguraikannya dalam topik berikutnya.

b. Kapan Muncul Keeksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel?
Untuk mengetahui kapan muncul eksklusivisme dan partikurisme bangsa Israel, maka penulis mencoba mengaitkannya dengan situasi yang terjadi dalam kehidupan bangsa Israel setelah pembuangan (Pasca-Pembuangan). Hal ini disebabkan oleh karena setelah bangsa Yahudi pulang dari pembuangan, maka mereka mempunyai pengharapan. Namun pengharapan itu harus diwujudkan melalui pembangunan bait Suci, pemulihan pemujaan atau ibadah dan keimaman. Namun, ketika mereka memulai pembangunan Bait Suci di Yerusalem maka orang-orang Samaria dan musuh-musuh yang pulang dari pembuangan brupaya untuk ikut dalam kegiatan pembangunan Bait Suci. Namun, para pemimpin Yahudi melihat bahwa dalam kerjasama itu terdapat sinkretisme. Sehingga pada pasca-pembuangan kultus digalakkan secara ketat dan keyahudian menjadi agama hukum, sehingga hal ini membawa dampak. Dampaknya yaitu bangsa Israel memiliki sifat yang fanatik dan tertutup.[3]
Menurut S. Wismoady Wahono, para tokoh yang menggalakan semua ini adalah Ezra dan selanjutnya diteruskan oleh Nehemia.[4] Ezra adalah seorang imam dan ahli kitab yang datang ke Yerusalem dengan ‘membawa kitab Taurat Musa’ (Neh. 8:2). Tugasnya adalah mengajar orang-orang Israel untuk mentaati hukum taurat. Dialah yang melarang perkawinan campuran antara orang Yahudi dan Non-Yahudi (Ezra 9-10).[5] Sehingg ia disebut sebagai bapa atau pelopor Yudaisme.
Sementara Nehemia adalah seorang pemimpin politik yang diangkat oleh penguasa Persia bagi tanah Yehuda (Neh. 5:14). Dalam menjalankan tugasnya sebagai tokoh pemerintah, Nehemia meneruskan pekerjaan (keagamaan) yang pernah diusahakan oleh Ezra. Di mana Nehemia menegakkan kembali imamat orang Lewi, persembahan persepuluhan (Neh. 13:10-14), memberlakukan peraturan hari Sabat (Neh. 13:15-22) dan melarang perkawinan campuran (Neh 13:23-27).[6]
Dari penjelasan tersebut di atas maka dapat dipercaya bahwa eksklusivisme dan partikularisme bangsa Israel muncul setelah masa pembuangan.
Dan dari sikap bangsa Israel yang seperti itu, maka muncullah suatu kritikan yang tajam. Kritikkan yang tajam itu termuat di dalam kitab-kitab deuteron-Yesaya, Trito-Yesaya, Yunus dan Rut. Di mana keempat kitab ini di tulis setelah Ezra dan Nehemia, untuk mengembalikan Israel kepada panggilannya yang semula: menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain.[7]
c.  Mengapa Muncul Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel?
Untuk mencaritahu mengapa bangsa Israel memiliki paham Eksklusivisme dan Partikuarisme terhadap suku bangsa lain. Maka terlebih dahulu penulis jelaskan siapa itu bangsa Israel?
Menurut TH. C. Vriezen dalam bukunya yang berjudul Agama Israel Kuno, bahwa bangsa Israel merupakan “benih Suci” yang dipilih oleh YHWH sendiri.[8] Benarkah hal yang demikian? Untuk mengetahui kebenaran dari pernyataan TH. C. Vriezen ini, maka alangkah lebih baiknya kalau penulis mencoba menghubungkannya dengan peristiwa perjanjian gunung Sinai (Kel. 19:4-9) dan isi kitab Ul. 26:5-10, yang berbunyi demikian:
5 Kemudian engkau harus menyatakan di hadapan TUHAN, Allahmu, demikian: Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana sebagai orang asing, tetapi di sana ia menjadi suatu bangsa yang besar, kuat dan banyak jumlahnya. 6 Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, 7 maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami. 8 Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan dengan tanda-tanda serta mujizat-mujizat. 9 Ia membawa kami ke tempat ini, dan memberikan kepada kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. 10 Oleh sebab itu, di sini aku membawa hasil pertama dari bumi yang telah Kauberikan kepadaku, ya TUHAN. Kemudian engkau harus meletakkannya di hadapan TUHAN, Allahmu; engkau harus sujud di hadapan TUHAN, Allahmu,

Dan hal inilah yang ditegakkan kembali oleh Ezra dan Nehemia setelah bangsa Israel kembali dari pembuangan. Karena Ezra melihat bahwa garis demarkasi (pembatas) antara bangsa Yahudi dengan bangsa sekitar mereka telah runtuh.
Di mana, Pokok gunung Sinai merupakan dasar yang utama, di mana segala pokok lainnya – pokok keluaran, padang Gurun dan pemberian tanah Kanaan – hanya memainkan peranan pelengkap saja.[9]
Setelah keluar dari Mesir, orang-orang Israel sudah merdeka tetapi belum dapat disebut sebagai suatu bangsa. Belum ada undang-undang dasar mereka. Banyak lagi yang harus dikerjakan supaya orang-orang Israel dapat menjadi bangsa dengan identitas tersendiri, yang berdikari. Dan yang paling penting dicatat ialah pengikatan perjanjian antara Tuhan dengan umat Israel, yaitu yang dilaksanakan di Gunung Sinai. Di situ juga Musa menjadi tokoh utama, karena dia sebagai perantara dalam perjanjian tersebut.
Orang-orang Israel yang sudah bebas dari perbudakan itu membutuhkan asas kenegaraan serta undang-undang dasar, dan itulah yang ditentukan Tuhan sebagaimana tercatat dalam Keluaran 19-24. Oleh karena itu, pasal-pasal tersebut merupakan salah satu bagian yang paling penting dalam Alkitab. Lebih dahulu orang-orang Israel berkumpul di Gunung Sinai dan kepada mereka dinyatakan tujuan Allah dalam memilih Israel sebagai umat-Nya [Baca Kel 19:4-6a]. Kemudian Allah memberikan kesepuluh firman [dasatitah, Kel 20] dan peraturan perjanjian {semacam UUD, Kel 21 - 23} kepada mereka. Hukum-hukum itu merupakan pedoman hidup bagi umat Allah, yang mencakup hukum-hukum moral, sipil dan keagamaan. Akhirnya diadakan upacara pengesahan perjanjian [Kel 24].
Jadi, inti dari peristiwa ini ialah pertemuan antara Yahweh dan bangsa Israel, di mana Yahweh bersedia menjadi Allah Israel serta membuat bangsa Israel menjadi milik-Nya sendiri (Nahala = milik Pribadi; segula = milik kesayangan), sebagai kerajaan imamat dan bangsa yang kudus.[10] Dalam pertemuan itu juga bangsa Israel menyatakan kesediaannya untuk melakukan segala yang difirmankan oleh Yahweh.
Dengan demikian, peristiwa gunung Sinai tersebut menunjuk kepada mulainya hubungan yang istimewa antara Yahweh dan bangsa Israel, di mana bangsa Israel memperoleh identitas yang baru. Bangsa Israel menjadi bangsa yang kudus, kerajaan imamat atau imamat yang berkerajaan, yang beribadah hanya kepada Yahweh saja.[11]
Berkaitan dengan isi kitab Ul. 26:5-10, bahwa menurut kebanyakan para ahli bahwa isi dari kitab Ul. 26:5-10 merupakan credo atau pengakuan percaya bangsa Israel. Credo atau pengakuan percaya dalam Ul. 26:5-10 itu secara ringkas menceritakan sejarah keselamatan bangsa Israel. Melalui Credo itu bangsa Israel mengakui bahwa Tuhanlah yang telah memanggil mereka (bangsa Israel) sehingga mereka ada sebagai umat Tuhan[12]. Pengakuan iman ini menyatakan keesaan dan keunikan Tuhan Allah Israel, khusunya dalam hubungan-Nya dengan umat-Nya.
Oleh sebab itu, jika Israel melupakan pengalaman-pengalaman ini serta dampak-dampaknya, maka Allah akan menghukum mereka, mengusir mereka dari negeri itudan menyebarkan mereka di antara bangsa-bangsa. Sebaliknya, jika Israel berbalik kepada Allah dan menaati firman-Nya, Ia bersifat pengampun dan tidak akan melupakan perjanjian yang diberikan-Nya dengan sumpah kepada bapa leluhur mereka.[13]
Jadi, berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan oleh TH. C. Vrienze adalah sesuatu hal yang benar. Namun, perlu juga diketahui juga bahwa hal ini dapat terjadi disebabkan oleh kesediaan Yahweh secara suka rela dan berdasarkan cinta kasih saja Ia jadikan bangsa Israel sebagai milik-Nya pribadi – apa pun keberadaannya – dan dalam bentuk kesediaan bangsa Israel untuk melakukan semua firman-Nya. Hubungan itu begitu istimewa sehingga menentukan eksistensi bangsa Israel dalam perjalanan sejarah sebagai umat yang beribadah kepada Yahweh saja.
Dari uraian tersebut  di atas, maka dapatlah diketahui bahwa yang menjadi penyebab mengapa bangsa Israel mempunyai faham Eksklusivisme dan Partikuarisme itu disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi di gunung Sinai. Di mana dalam peristiwa ini Yahweh bersedia menjadi Allah serta membuat bangsa Israel menjadi milik-Nya. Dan sebagai akibatnya ialah bahwa bangsa Israel memberikan pengakuannya bahwa mereka adalah suku bangsa yang kudus pilihan Yahweh (Kel. 7:6).
d. Bentuk Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel
Sehubungan karena penulis telah menguraikan apa yang menjadi penyebab dari Eksklusivisme dan Partikuarisme bangsa Israel ini, maka sekarang yang hendak penulis uraikan ialah bagaimana itu keeksklusivisme dan Partikuarisme bangsa Israel ini?
a.   Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel dalam Bidang Agama
Dalam teks Alkitab, disebutkan bahwa Israel (Yahudi) mengutuk agama-agama lain dan menegaskan bahwa Yahwe adalah satu-satunya Allah yang benar atau bahwa semua allah lain harus tunduk kepada Yahweh (Ul: 5 dan Kel: 20). Dari teks ini terdapat gagasan yang menyatakan, bahwa dari semua agama, maka agama yang dianut oleh Israel (Yahudi) adalah satu-satunya iman keagamaan yang diwahyukan Allah dan bahwa hanya iman keagamaan itulah yang benar dalam segala hal. Sehingga akibat dari ini “ibadat kepada Yahweh” terbatas kepada mereka yang lahir dari bangsa Yahudi.[14]
b.   Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel dalam Bidang Sosial
Selain daripada itu, sikap eksklusivisme dan partikularisme bangsa Israel juga dapat dilihat dalam hubungannya (interaksi sosialnya) dengan suku bangsa lain (non-Yahudi), di mana bangsa Israel tidak dapat melaksankan pernikahan (perkawinan campur) dengan suku bangsa lain (Ezr. 9-10).[15]
c.   Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel dalam Bidang Adat-Istiadat
Dalam segi Adat-Istiadat, bangsa Israel juga mempunyai sifat Eksklusivisme dan partikuris, di mana ketika Antiokhus IV, mengelurakan suatu peraturan yang melarang orang-orang Yahudi mengikuti kebiasaan-kebiasaan agamawi mereka, serta melarang semua perayaan Yahudi dan upacara-upacara korban serta tradisi sunat. Serta memerintahkan agar semua kitab-kitab Taurat dimusnahkan. Maka dari peristiwa ini maka dalam hati bangsa Israel bangkitlah kebencian dan kemarahan.[16] Karena mereka merasa bahwa adat-istiadat mereka lebih tinggi daripada adat-istiadat Yunani.
d.  Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel dalam Bidang Bahasa
Selain daripada itu, semasa bangsa Yahudi berada di kota Alexandria, Mesir. Terdapat sebuah paguyuban yang kuat. Sehubungan karena paguyuban ini hidup di tengah-tengah masyarakat yang yang berbahasa Yunani. Maka, mereka mencoba belajar bahasa dan tulisan daerah setempat, sehingga hasilnya ialah mereka menerjemahkan tulisan PL dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Dalam tulisan dimaksud banyak tulisan-tulisan yang berkaitan dengan agama Yahudi ikut diterjemahkan dan ditambahkan ke dalam PL berbahasa Yunani. Namun, para pemimpin Yahudi yang berada di Palestina menolak tulisan-tulisan yang baru itu, sehingga mereka tidak memasukkannya ke dalam PL Ibrani.[17]
e.    Dampak dari Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel
Dampak dari Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
a.    Dampak Positif
Dampak positif dari Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel, yaitu:
1.     Identitas sosial dan agama Yahudi dapat terpelihara.
2.    Masyaraka Yahudi menjadi Kompak.[18]
3.    Kemurnian komunitas Yahudi dapat pulih kembali (Ezra 10:3).
4.    Seluruh peristiwa itu menghasilkan suatu komitmen perjanjian yang diucapkan oleh orang Yahudi, yaitu bahwa mereka mengikat perjanjian yang teguh yang dibubuhi meterai para pemimpin, orang Lewi dan Imam Yahudi (Neh. 9:38). Jadi, masyarakat Israel Pasca-Pembuangan dalam tradisi pembaharuan dan kebangunan rohani itu, sekali lagi mereka mengikatkan diri dengan jaminan untuk menjadi umat perjanjian kepunyaan Tuhan.[19]
b.    Dampak Negatif
Dampak negatif dari Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel, yaitu:
1.     Partisipasi dalam ibadat kepada Yahweh terbatas kepada mereka yang lahir dari bangsa Yahudi.
2.    Mereka terasingkan atau terisolasi dari antara suku-suku bangsa lain.[20]
f.     Implementasi
Dari uraian di atas maka satu hal yang dapat penulis jadikan sebagai benang penghubung untuk mengimplementasikan topik pembahsan ini dalam kehidupan sehari-hari ialah tentang pemahaman bangsa Israel yang mengakui bahwa mereka adalah bangsa yang dipilih dan diselamatkan oleh YHWH. Lalu pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan bangsa lain? Apakah bangsa lain itu juga beroleh kasih keselamatan dari YHWH atau tidak? Sehingga hal inilah yang mendapat kritikkan dari penulis-penulis kitab sesudah Ezra. Misalnya kitab Yunus yang mau mengatakan tentang kasih Allah yang universal. Dan tidak terbatas hanya kepada bangsa Israel saja, tapi juga bagi bangsa lain di muka bumi ini.
Sekarang, dalam kehidupan iman dan kepercayaan orang kristen, terdapat satu ayat alkitab yang sering didengung-dengungkan untuk mengatakan bahwa hanya kepada Tuhan orang kristen ada keselamatan. Nats itu bunyinya demikian: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui aku” (Yoh 14:6). Dan ini pulalah yang menjadi cetusan keyakinan para pengikut-Nya, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4: 12). Apakah ini berarti bahwa hanya orang Kristen - yang dari namanya berarti pengikut Kristus - saja yang berhak akan keselamatan atau kehidupan kekal? Benarkah hal yang demikian bahwa hanyalah kepada Tuhannya orang Kristen ada jalan keselamatan? Lalu bagaimana dengan bangsa lain? Apakah nats ini bukan sebagai nats Alkitab yang mengajak orang Kristen untuk mempunyai sifat seperti sifat yang dimiliki oleh bangsa Israel?
Pernyataan dari nats ini juga yang sebenarnya merupakan masalah rumit yang dihadapi Gereja sepanjang sejarah. Masalah ini antara lain menimbulkan kesulitan Gereja dalam menyampaikan Kabar Gembira, karena Suatu agama atau kepercayaan yang berani membuat pernyataan bahwa di luar apa yang mereka ajarkan tidak ada keselamatan akan segera dicap sombong. Namun, bagi penulis secara pribadi bahwa nats ini memang ada dampaknya baik itu dampak yang bersifat positif pun yang bersifat negatif. Karena nats ini hanya ingin untuk menunjukkan identitas diri kristus yang dipercaya itu.


Daftar Bacaan
Barth, C., Teologi Perjanjian Lama 1, Jakarta; BPK-GM; 2001.
Hinson, David F., Sejarah Pada Zaman Alkitab, Jakarta: BPK-GM; 1996.
Lasor, W.S., Pengantar perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK-GM; 2009
Merrill, Eugene H., Teologi Kitab Ezra-Nehemia dan Ester, dalam Roy B. Zuck (edt.), A Biblical     Theology of The Old Testament, Malang: Gandum Mas; 2005
Sugono, Dendy, (Red.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia; 2008.
Vriezen, Th. C., Agama Israel Kuno, Jakarta: BPK-GM; 2003.
Wismoady Wahono, S., Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK-GM; 2009.
Wismoady Wahono, S., Hubungan Tuhan dan Israel, Jakarta: BPK-GM; 1983.


[1] Dendy Sugono (Red.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia; 2008), hlm. 357.
[2] Ibid, hlm. 1024.
[3] Bnd. S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, (Jakarta:BPK-GM; 2009), hlm. 261-262.
[4] Ibid.
[5] Ibid, hlm. 260.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Bnd. Th. C. Vriezen,  Op. Cit.
[9] Bnd. C. Barth, Teologi Perjanjian Lama 1, (Jakarta; BPK-GM; 2001), hlm. 259.
[10] Bnd. S. Wismoady Wahono, Hubungan Tuhan dan Israel, (Jakarta: BPK-GM; 1983), hlm. 84-85.
[11] Ibid.
[12] Bnd. S. Wismoady Wahono, Op. Cit., hlm. 61.
[13] Bnd. W.S. Lasor, Pengantar perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK-GM;2009), hlm. 254.
[14] Th. C. Vriezen, Op. Cit., hlm. 285.
[15] S. Wismoady Wahono, Op. Cit., hlm. 260.
[16]David F. Hinson, Sejarah Pada Zaman Alkitab, (Jakarta: BPK-GM; 1996), hlm. 246.
[17] Ibid, hlm. 242.
[18] Th. C. Vriezen, Op. Cit., hlm. 285.
[19] Bnd. Eugene H. Merrill, Teologi Kitab Ezra-Nehemia dan Ester, dalam Roy B. Zuck (edt.), A Biblical Theology of The Old Testament, (Malang: Gandum Mas; 2005), hlm. 361.
[20] Th. C. Vriezen, Op. Cit., hlm. 285.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar