I. Pendahuluan
Pada mata Kuliah Teologi
Perjanjian Lama 2 ini, penulis mendapat kesempatan untuk membahas tentang Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel. Dan untuk mengetahui apa dan
bagaimana itu Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel, maka penulis akan
mencoba untuk menguraikannya lewat pembahasan berikut ini.
II. Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel
a. Pengertian
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, bahwa kata Eksklusivisme berarti paham yang mempunyai
kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.[1]
Dan kata Partikularisme berarti sistem yang mengutamakan
kepentingan pribadi (diri-sendiri) di atas kepentingan umum; aliran politik,
ekonomi, atau kebudayaan yang mementingkan daerah atau kelompok khusus;
sukuisme.[2]
Dari kedua
pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa baik kata Eksklusivisme maupun
kata Partikularisme mengandung makna sebab-akibat, yang bernilai negatif
terhadap sikap dan sifat bangsa Israel. Sehingga penulis dapat menyimpulkan
bahwa pengertian dari judul makalah ini (Eksklusivisme dan Partikularisme
Bangsa Indonesia) ialah suatu sifat atau paham bangsa Israel untuk memisahkan
diri dari masyarakat di luar bagsa Israel (non-Israel). Dan hal ini merupakan
akibat dari sistem suku bangsa Israel yang mengutamakan kepentingan daerah atau
sukunya.
Dari pengertian ini,
maka muncullah suatu pertanyaan mengapa bangsa Israel menganut paham
Eksklusivisme dan Partikuarisme? Untuk menjawab peryanyaan itu, maka penulis
akan menguraikannya dalam topik berikutnya.
b. Kapan Muncul
Keeksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel?
Untuk mengetahui
kapan muncul eksklusivisme dan partikurisme bangsa Israel, maka penulis mencoba
mengaitkannya dengan situasi yang terjadi dalam kehidupan bangsa Israel setelah
pembuangan (Pasca-Pembuangan). Hal ini disebabkan oleh karena setelah bangsa
Yahudi pulang dari pembuangan, maka mereka mempunyai pengharapan. Namun
pengharapan itu harus diwujudkan melalui pembangunan bait Suci, pemulihan
pemujaan atau ibadah dan keimaman. Namun, ketika mereka memulai pembangunan
Bait Suci di Yerusalem maka orang-orang Samaria dan musuh-musuh yang pulang
dari pembuangan brupaya untuk ikut dalam kegiatan pembangunan Bait Suci. Namun,
para pemimpin Yahudi melihat bahwa dalam kerjasama itu terdapat sinkretisme.
Sehingga pada pasca-pembuangan kultus digalakkan secara ketat dan keyahudian
menjadi agama hukum, sehingga hal ini membawa dampak. Dampaknya yaitu bangsa
Israel memiliki sifat yang fanatik dan tertutup.[3]
Menurut S. Wismoady
Wahono, para tokoh yang menggalakan semua ini adalah Ezra dan selanjutnya
diteruskan oleh Nehemia.[4]
Ezra adalah seorang imam dan ahli kitab yang datang ke Yerusalem dengan
‘membawa kitab Taurat Musa’ (Neh. 8:2). Tugasnya adalah mengajar orang-orang
Israel untuk mentaati hukum taurat. Dialah yang melarang perkawinan campuran
antara orang Yahudi dan Non-Yahudi (Ezra 9-10).[5]
Sehingg ia disebut sebagai bapa atau pelopor Yudaisme.
Sementara Nehemia
adalah seorang pemimpin politik yang diangkat oleh penguasa Persia bagi tanah
Yehuda (Neh. 5:14). Dalam menjalankan tugasnya sebagai tokoh pemerintah,
Nehemia meneruskan pekerjaan (keagamaan) yang pernah diusahakan oleh Ezra. Di
mana Nehemia menegakkan kembali imamat orang Lewi, persembahan persepuluhan
(Neh. 13:10-14), memberlakukan peraturan hari Sabat (Neh. 13:15-22) dan
melarang perkawinan campuran (Neh 13:23-27).[6]
Dari penjelasan
tersebut di atas maka dapat dipercaya bahwa eksklusivisme dan partikularisme
bangsa Israel muncul setelah masa pembuangan.
Dan dari sikap
bangsa Israel yang seperti itu, maka muncullah suatu kritikan yang tajam.
Kritikkan yang tajam itu termuat di dalam kitab-kitab deuteron-Yesaya,
Trito-Yesaya, Yunus dan Rut. Di mana keempat kitab ini di tulis setelah Ezra
dan Nehemia, untuk mengembalikan Israel kepada panggilannya yang semula:
menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain.[7]
c. Mengapa Muncul Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel?
Untuk mencaritahu
mengapa bangsa Israel memiliki paham Eksklusivisme dan Partikuarisme terhadap
suku bangsa lain. Maka terlebih dahulu penulis jelaskan siapa itu bangsa
Israel?
Menurut TH. C.
Vriezen dalam bukunya yang berjudul Agama
Israel Kuno, bahwa bangsa Israel merupakan “benih Suci” yang dipilih oleh YHWH
sendiri.[8]
Benarkah hal yang demikian? Untuk mengetahui kebenaran dari pernyataan TH. C.
Vriezen ini, maka alangkah lebih baiknya kalau penulis mencoba menghubungkannya
dengan peristiwa perjanjian gunung Sinai (Kel. 19:4-9) dan isi kitab Ul.
26:5-10, yang berbunyi demikian:
5 Kemudian engkau
harus menyatakan di hadapan TUHAN, Allahmu, demikian: Bapaku dahulu seorang
Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan
tinggal di sana sebagai orang asing, tetapi di sana ia menjadi suatu bangsa
yang besar, kuat dan banyak jumlahnya. 6 Ketika orang Mesir
menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, 7
maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar
suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap
kami. 8 Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang
kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan dengan
tanda-tanda serta mujizat-mujizat. 9 Ia membawa kami ke tempat ini,
dan memberikan kepada kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu
dan madunya. 10 Oleh sebab itu, di sini aku membawa hasil pertama
dari bumi yang telah Kauberikan kepadaku, ya TUHAN. Kemudian engkau harus
meletakkannya di hadapan TUHAN, Allahmu; engkau harus sujud di hadapan TUHAN,
Allahmu,
Dan hal inilah yang
ditegakkan kembali oleh Ezra dan Nehemia setelah bangsa Israel kembali dari
pembuangan. Karena Ezra melihat bahwa garis demarkasi (pembatas) antara bangsa
Yahudi dengan bangsa sekitar mereka telah runtuh.
Di mana, Pokok gunung
Sinai merupakan dasar yang utama, di mana segala pokok lainnya – pokok
keluaran, padang Gurun dan pemberian tanah Kanaan – hanya memainkan peranan
pelengkap saja.[9]
Setelah keluar dari
Mesir, orang-orang Israel sudah merdeka tetapi belum dapat disebut sebagai
suatu bangsa. Belum ada undang-undang dasar mereka. Banyak lagi yang harus
dikerjakan supaya orang-orang Israel dapat menjadi bangsa dengan identitas
tersendiri, yang berdikari. Dan yang paling penting dicatat ialah pengikatan
perjanjian antara Tuhan dengan umat Israel, yaitu yang dilaksanakan di Gunung
Sinai. Di situ juga Musa menjadi tokoh utama, karena dia sebagai perantara
dalam perjanjian tersebut.
Orang-orang Israel
yang sudah bebas dari perbudakan itu membutuhkan asas kenegaraan serta
undang-undang dasar, dan itulah yang ditentukan Tuhan sebagaimana tercatat
dalam Keluaran 19-24. Oleh karena itu, pasal-pasal tersebut merupakan salah
satu bagian yang paling penting dalam Alkitab. Lebih dahulu orang-orang Israel
berkumpul di Gunung Sinai dan kepada mereka dinyatakan tujuan Allah dalam
memilih Israel sebagai umat-Nya [Baca Kel 19:4-6a]. Kemudian Allah memberikan
kesepuluh firman [dasatitah, Kel 20] dan peraturan perjanjian {semacam UUD, Kel
21 - 23} kepada mereka. Hukum-hukum itu merupakan pedoman hidup bagi umat
Allah, yang mencakup hukum-hukum moral, sipil dan keagamaan. Akhirnya diadakan
upacara pengesahan perjanjian [Kel 24].
Jadi, inti dari peristiwa ini ialah pertemuan antara Yahweh dan
bangsa Israel, di mana Yahweh bersedia menjadi Allah Israel serta membuat
bangsa Israel menjadi milik-Nya sendiri (Nahala
= milik Pribadi; segula = milik kesayangan), sebagai kerajaan imamat dan
bangsa yang kudus.[10]
Dalam pertemuan itu juga bangsa Israel menyatakan kesediaannya untuk melakukan
segala yang difirmankan oleh Yahweh.
Dengan demikian,
peristiwa gunung Sinai tersebut menunjuk kepada mulainya hubungan yang istimewa
antara Yahweh dan bangsa Israel, di mana bangsa Israel memperoleh identitas
yang baru. Bangsa Israel menjadi bangsa yang kudus, kerajaan imamat atau imamat
yang berkerajaan, yang beribadah hanya kepada Yahweh saja.[11]
Berkaitan dengan isi
kitab Ul. 26:5-10, bahwa menurut kebanyakan para ahli bahwa isi dari kitab Ul.
26:5-10 merupakan credo atau
pengakuan percaya bangsa Israel. Credo atau pengakuan percaya dalam Ul. 26:5-10
itu secara ringkas menceritakan sejarah keselamatan bangsa Israel. Melalui
Credo itu bangsa Israel mengakui bahwa Tuhanlah yang telah memanggil mereka
(bangsa Israel) sehingga mereka ada sebagai umat Tuhan[12].
Pengakuan iman ini menyatakan keesaan dan keunikan Tuhan Allah Israel, khusunya
dalam hubungan-Nya dengan umat-Nya.
Oleh sebab itu, jika
Israel melupakan pengalaman-pengalaman ini serta dampak-dampaknya, maka Allah
akan menghukum mereka, mengusir mereka dari negeri itudan menyebarkan mereka di
antara bangsa-bangsa. Sebaliknya, jika Israel berbalik kepada Allah dan menaati
firman-Nya, Ia bersifat pengampun dan tidak akan melupakan perjanjian yang
diberikan-Nya dengan sumpah kepada bapa leluhur mereka.[13]
Jadi, berdasarkan
uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan oleh TH. C.
Vrienze adalah sesuatu hal yang benar. Namun, perlu juga diketahui juga bahwa
hal ini dapat terjadi disebabkan oleh kesediaan Yahweh secara suka rela dan
berdasarkan cinta kasih saja Ia jadikan bangsa Israel sebagai milik-Nya pribadi
– apa pun keberadaannya – dan dalam bentuk kesediaan bangsa Israel untuk
melakukan semua firman-Nya. Hubungan itu begitu istimewa sehingga menentukan
eksistensi bangsa Israel dalam perjalanan sejarah sebagai umat yang beribadah
kepada Yahweh saja.
Dari uraian
tersebut di atas, maka dapatlah
diketahui bahwa yang menjadi penyebab mengapa bangsa Israel mempunyai faham
Eksklusivisme dan Partikuarisme itu disebabkan oleh sebuah peristiwa yang
terjadi di gunung Sinai. Di mana dalam peristiwa ini Yahweh bersedia menjadi
Allah serta membuat bangsa Israel menjadi milik-Nya. Dan sebagai akibatnya ialah
bahwa bangsa Israel memberikan pengakuannya bahwa mereka adalah suku bangsa
yang kudus pilihan Yahweh (Kel. 7:6).
d. Bentuk
Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel
Sehubungan karena
penulis telah menguraikan apa yang menjadi penyebab dari Eksklusivisme dan
Partikuarisme bangsa Israel ini, maka sekarang yang hendak penulis uraikan
ialah bagaimana itu keeksklusivisme dan Partikuarisme bangsa Israel ini?
a.
Eksklusivisme dan
Partikularisme Bangsa Israel dalam Bidang Agama
Dalam teks Alkitab,
disebutkan bahwa Israel (Yahudi) mengutuk agama-agama lain dan menegaskan bahwa
Yahwe adalah satu-satunya Allah yang benar atau bahwa semua allah lain harus
tunduk kepada Yahweh (Ul: 5 dan Kel: 20). Dari teks ini terdapat gagasan yang
menyatakan, bahwa dari semua agama, maka agama yang dianut oleh Israel (Yahudi)
adalah satu-satunya iman keagamaan yang diwahyukan Allah dan bahwa hanya iman
keagamaan itulah yang benar dalam segala hal. Sehingga akibat dari ini “ibadat
kepada Yahweh” terbatas kepada mereka yang lahir dari bangsa Yahudi.[14]
b.
Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel dalam Bidang Sosial
Selain daripada itu,
sikap eksklusivisme dan partikularisme bangsa Israel juga dapat dilihat dalam
hubungannya (interaksi sosialnya) dengan suku bangsa lain (non-Yahudi), di mana
bangsa Israel tidak dapat melaksankan pernikahan (perkawinan campur) dengan
suku bangsa lain (Ezr. 9-10).[15]
c.
Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel dalam Bidang Adat-Istiadat
Dalam segi
Adat-Istiadat, bangsa Israel juga mempunyai sifat Eksklusivisme dan partikuris,
di mana ketika Antiokhus IV, mengelurakan suatu peraturan yang melarang
orang-orang Yahudi mengikuti kebiasaan-kebiasaan agamawi mereka, serta melarang
semua perayaan Yahudi dan upacara-upacara korban serta tradisi sunat. Serta
memerintahkan agar semua kitab-kitab Taurat dimusnahkan. Maka dari peristiwa
ini maka dalam hati bangsa Israel bangkitlah kebencian dan kemarahan.[16]
Karena mereka merasa bahwa adat-istiadat mereka lebih tinggi daripada
adat-istiadat Yunani.
d.
Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel dalam Bidang Bahasa
Selain daripada itu,
semasa bangsa Yahudi berada di kota Alexandria, Mesir. Terdapat sebuah
paguyuban yang kuat. Sehubungan karena paguyuban ini hidup di tengah-tengah
masyarakat yang yang berbahasa Yunani. Maka, mereka mencoba belajar bahasa dan
tulisan daerah setempat, sehingga hasilnya ialah mereka menerjemahkan tulisan
PL dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Dalam tulisan dimaksud banyak
tulisan-tulisan yang berkaitan dengan agama Yahudi ikut diterjemahkan dan
ditambahkan ke dalam PL berbahasa Yunani. Namun, para pemimpin Yahudi yang
berada di Palestina menolak tulisan-tulisan yang baru itu, sehingga mereka
tidak memasukkannya ke dalam PL Ibrani.[17]
e. Dampak dari Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel
Dampak dari Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
a.
Dampak Positif
Dampak positif dari Eksklusivisme dan Partikularisme Bangsa Israel,
yaitu:
1.
Identitas
sosial dan agama Yahudi dapat terpelihara.
3.
Kemurnian
komunitas Yahudi dapat pulih kembali (Ezra 10:3).
4.
Seluruh
peristiwa itu menghasilkan suatu komitmen perjanjian yang diucapkan oleh orang
Yahudi, yaitu bahwa mereka mengikat perjanjian yang teguh yang dibubuhi meterai
para pemimpin, orang Lewi dan Imam Yahudi (Neh. 9:38). Jadi, masyarakat Israel
Pasca-Pembuangan dalam tradisi pembaharuan dan kebangunan rohani itu, sekali
lagi mereka mengikatkan diri dengan jaminan untuk menjadi umat perjanjian
kepunyaan Tuhan.[19]
b.
Dampak Negatif
Dampak negatif dari Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel, yaitu:
1.
Partisipasi
dalam ibadat kepada Yahweh terbatas kepada mereka yang lahir dari bangsa
Yahudi.
2.
Mereka
terasingkan atau terisolasi dari antara suku-suku bangsa lain.[20]
f. Implementasi
Dari uraian di atas maka satu hal
yang dapat penulis jadikan sebagai benang penghubung untuk mengimplementasikan
topik pembahsan ini dalam kehidupan sehari-hari ialah tentang pemahaman bangsa
Israel yang mengakui bahwa mereka adalah bangsa yang dipilih dan diselamatkan
oleh YHWH. Lalu pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan bangsa lain? Apakah
bangsa lain itu juga beroleh kasih keselamatan dari YHWH atau tidak? Sehingga
hal inilah yang mendapat kritikkan dari penulis-penulis kitab sesudah Ezra.
Misalnya kitab Yunus yang mau mengatakan tentang kasih Allah yang universal.
Dan tidak terbatas hanya kepada bangsa Israel saja, tapi juga bagi bangsa lain
di muka bumi ini.
Sekarang, dalam kehidupan iman
dan kepercayaan orang kristen, terdapat satu ayat alkitab yang sering
didengung-dengungkan untuk mengatakan bahwa hanya kepada Tuhan orang kristen
ada keselamatan. Nats itu bunyinya demikian: “Akulah
jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa,
kalau tidak melalui aku” (Yoh
14:6). Dan ini pulalah yang menjadi cetusan keyakinan para pengikut-Nya, “Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di
bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang
olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4: 12). Apakah ini berarti bahwa hanya
orang Kristen - yang dari namanya berarti pengikut Kristus - saja yang berhak
akan keselamatan atau kehidupan kekal? Benarkah hal yang demikian bahwa
hanyalah kepada Tuhannya orang Kristen ada jalan keselamatan? Lalu bagaimana
dengan bangsa lain? Apakah nats ini bukan sebagai nats Alkitab yang mengajak
orang Kristen untuk mempunyai sifat seperti sifat yang dimiliki oleh bangsa
Israel?
Pernyataan
dari nats ini juga yang sebenarnya merupakan masalah rumit yang dihadapi Gereja
sepanjang sejarah. Masalah ini antara lain menimbulkan kesulitan Gereja dalam
menyampaikan Kabar Gembira, karena Suatu agama atau kepercayaan yang berani
membuat pernyataan bahwa di luar apa yang mereka ajarkan tidak ada keselamatan
akan segera dicap sombong. Namun, bagi penulis secara pribadi bahwa nats ini
memang ada dampaknya baik itu dampak yang bersifat positif pun yang bersifat
negatif. Karena nats ini hanya ingin untuk menunjukkan identitas diri kristus
yang dipercaya itu.
Daftar Bacaan
Barth, C., Teologi
Perjanjian Lama 1, Jakarta; BPK-GM; 2001.
Hinson, David F., Sejarah
Pada Zaman Alkitab, Jakarta:
BPK-GM; 1996.
Lasor, W.S., Pengantar
perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK-GM; 2009
Merrill, Eugene H., Teologi Kitab Ezra-Nehemia dan
Ester, dalam Roy B. Zuck (edt.), A Biblical Theology of The Old Testament, Malang:
Gandum Mas; 2005
Sugono, Dendy, (Red.), Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia; 2008.
Vriezen,
Th. C., Agama Israel Kuno, Jakarta: BPK-GM; 2003.
Wismoady Wahono, S., Di
Sini Kutemukan, Jakarta: BPK-GM; 2009.
Wismoady Wahono, S., Hubungan
Tuhan dan Israel, Jakarta: BPK-GM; 1983.
[1]
Dendy Sugono (Red.), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Gramedia; 2008), hlm. 357.
[2]
Ibid, hlm. 1024.
[3]
Bnd. S. Wismoady Wahono, Di Sini
Kutemukan, (Jakarta:BPK-GM; 2009), hlm. 261-262.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid, hlm. 260.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid.
[8]
Bnd. Th. C. Vriezen, Op. Cit.
[9]
Bnd. C. Barth, Teologi Perjanjian Lama 1,
(Jakarta; BPK-GM; 2001), hlm. 259.
[10]
Bnd. S. Wismoady Wahono, Hubungan Tuhan
dan Israel, (Jakarta: BPK-GM; 1983), hlm. 84-85.
[11]
Ibid.
[12]
Bnd. S. Wismoady Wahono, Op. Cit., hlm.
61.
[13]
Bnd. W.S. Lasor, Pengantar perjanjian
Lama 1, (Jakarta: BPK-GM;2009), hlm. 254.
[14]
Th. C. Vriezen, Op. Cit., hlm. 285.
[15]
S. Wismoady Wahono, Op. Cit., hlm.
260.
[16]David
F. Hinson, Sejarah Pada Zaman Alkitab,
(Jakarta: BPK-GM; 1996), hlm. 246.
[17]
Ibid, hlm. 242.
[18]
Th. C. Vriezen, Op. Cit., hlm. 285.
[19]
Bnd. Eugene H. Merrill, Teologi Kitab
Ezra-Nehemia dan Ester, dalam Roy B. Zuck (edt.), A Biblical Theology of
The Old Testament, (Malang: Gandum Mas; 2005), hlm. 361.
[20]
Th. C. Vriezen, Op. Cit., hlm. 285.